IPTEK UNTUK PENGUATAN KETAHANAN ENERGI
Jumina dan Karna Wijaya
Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Sekip Blok K-1A, Kampus UGM Yogyakarta
Telp./Fax.: 274-549429
Ketahanan energi merupakan salah satu faktor penting ketahanan nasional sehingga wajar jika Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) memberikan sinyal kepada pemerintah bahwa cadangan bahan bakar minyak Indonesia yang rata-rata hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri selama 20 hari saja rawan ketahanan energi. Angka tersebut jauh di bawah cadangan minyak Singapura yang mencapai 120 hari dan Jepang 107 hari. Padahal kita tahu kedua negara maju itu tidak memiliki deposit minyak bumi. Mengapa ketahanan energi sebuah negara yang memiliki deposit minyak bumi bisa lebih rentan daripada negara-negara konsumen? Beberapa faktor dapat menjadi penyebabnya :
Ketahanan IPTEK Indonesia masih rendah. Penguasaan teknologi eksplorasi dan eksploitasi migas saat ini masih belum memadai agar Indonesia dapat menjadi Negara yang memiliki ketahanan energi tinggi dan berdaulat energi. Fakta yang ada hampir semua kontraktor-kontraktor migas menggunakan teknologi asing.
Bagi hasil dari sektor pertambangan migas belum adil. Saat ini di Indonesia beroperasi beberapa kontraktor minyak asing. Para kontraktor asing tersebut menguasai sekitar 65% atau 329 blok migas. sementara perusahaan nasional hanya menguasai 24, 27% dan selebihnya adalah patungan antara perusahaan asing dan nasional. Para kontraktor asing hanya wajib menyetor 25% dari hasil produksi mereka untuk kebutuhan domestik. Kondisi ini jelas merugikan Indonesia sebagai pemilik cadangan migas Oleh karena itu tidak mengherankan jika ketahanan energi Indonesia sangat rentan.
Indonesia boros energi. Menurut para pakar ekonomi energi jika Indonesia bisa memakai energi yang lebih murah sebagai pengganti BBM maka dapat dihemat minimal 100 trilyun rupiah. Pada tahun 2009 BBM untuk transportasi 37, 2 milyar liter, rumah tangga 4,7 milyar liter, industri 9,8 milyar liter, listrik 8,9 milyar liter dan ABRI 0,5 milyar liter. Jika kita bisa mengganti 80% transportasi dengan Bahan Bakar Gas maka akan dapat dihemat sekitar Rp 2.500 per liter atau setara dengan Rp 74,4 trilyun dan jika kita bisa mengganti bahan bakar kompor dengan LPG akan dapat dihemat sekitar Rp 2.500 per liter atau 11,8 tilyun rupiah. Suatu angka yang fantasitik namun sebenarnya akan nyata jika kita benar-benar melakukan gerakan hemat energi. Berbagai gejala kelangkaan energi yang pernah kita alami dan masih terasa saat ini seperti antrian membeli BBM di SPBU di beberapa wilayah Indonesia dan seringnya pemadaman listrik merupakan indikator bahwa telah terjadi krisis pasokan energi secara tajam. Oleh sebab itu, pengelolaan energi perlu dilakukan misalnya melalui upaya penghematan. Mengutip pendapat Geller 2006 bahwa keberhasilan banyak negara maju dalam kebijakan penghematan energi ditentukan oleh keberhasilan mereka dalam melakukan penghematan energi pada sistem infrastruktur energi dan sistem pengawasannya. Indonesia patut mencotoh keberhasilan ini dengan segera membuat Standard Operational Procedure hemat energi bagi bangunan komersial, industri dan perumahan.
Indonesia tidak bersungguh-sungguh mengembangkan EBT adalah faktor lain yang menyebabkan kerentanan ketahanan energi nasional. Indonesia adalah Negara yang kaya akan sumber-sumber EBT namun sayangnya selama ini pengembangan EBT terkesan sporadik dan tergantung kepada kepentingan politik sesaat. Manajemen yang buruk dan KKN juga turut memperparah pengembangan EBT di Indonesia.
Kompleksitas beberapa faktor ini pada akhirnya mempengaruhi kondisi ketahanan energi di Indonesia. Perlu upaya sungguh-sungguh dan sistematis untuk memperbaiki keadaan ini. Langkah-langkah pembenahan harus segera dimulai, misalnya dengan :
- Menata ulang sistem pengelolaan ladang minyak nasional dengan meninjau kembali undang-undang dan kontrak-kontrak pengelolaan ladang-ladang minyak kita jika dirasa tidak menguntungkan Indonesia. Kalau perlu, ijin pengelolaan ladang minyak di tangan kontraktor asing tidak diperpanjang lagi setelah masa kontrak mereka habis.
- Meningkatkan penguasaan IPTEK yang bertumpu kepada ketersediaan SDA dan SDM karena IPTEK adalah kunci keberhasilan penguatan ketahanan energi. Melalui teknologi nilai tambah setiap produk energi dapat ditingkatkan, memberi perioritas kepada teknologi energi yang urgen, memperbaiki iklim investasi yang kondusif dan meningkatkan kapabilitas dalam teknologi, infrastruktur, riset, SDM dan pemodalan.
- Meningkatkan komitmen mengembangkan EBT yang ramah lingkungan sebagai pengganti bahan bakar fosil karena kedepan cadangan energi fosil semakin berkurang.
Pendekatan IPTEK
Untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus bertambah maka penggunaan semua energi alternatif yang feasible dan proven, seperti energi geothermal dan hidro harus terus dilakukan, sementara energi surya, angin dan gelombang laut yang memiliki potensi besar juga telah mulai dieksplotasi secara ekstensif. Salah satu pencapaian besar umat manusia di abad ke 20 adalah energi atom, namun sayangnya energi ini juga berisiko tinggi seperti beberapa kecelakaan PLTN yang pernah terjadi di Fukushima, Chernobyl dan Thre Mile Island. Energi atom juga rawan penyalahgunaan untuk digunakan sebagai senjata pemusnah masal.
Salah satu pendekatan yang diusulkan dan telah didiskusikan di banyak forum adalah pemakaian energi hidrogen sebagai bahan bakar bersih pengganti energi fosil. Hidrogen dapat dihasilkan antara lain dari proses elektrolisis air. Pada elektrolisis air energi banyak yang terbuang sebagai panas, sehingga tidak mungkin mengkonversi 100% energi listrik menjadi energi kimia hidrogen. Pada proses elektrolisis ini, efisiensi konversi energi listrik menjadi energi kimia hidrogen berkisar 50 s.d. 70%. Apabila gas hidrogen diproduksi dengan cara elektrolisis air menggunakan listrik dari pembangkit listrik tenaga nuklir, maka efisiensi totalnya diperkirakan mencapai 30 s.d. 45%. Kelebihan utama energi berbasis hidrogen adalah karena ketersediaan bahan baku yang melimpah. Lautan, sungai dan danau merupakan sumber air tak terbatas yang dapat dikonversi menjadi gas hidrogen dalam jumlah besar. Namun hidrogen bukan tanpa kelemahan, penyimpanan dan transportasi gas hidrogen sangat mahal dan sulit. Diperlukan material khusus untuk menyimpan hidrogen. Gas hidrogen juga eksplosif sehingga penangananya membutuhkan kehati-hatian dan teknologi tinggi. Pendekatan cerdas lain yang juga sedang dikembangkan para ahli terkait dengan teknologi energi adalah nanoteknologi. Nanoteknologi merupakan ilmu dan rekayasa dalam penciptaan material, struktur fungsional, maupun piranti dalam sekala nanometer. Material berskala nano merupakan material yang sangat atraktif karena mereka memiliki sifat-sifat yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan apa yang mereka perlihatkan pada skala makroskopisnya. Sebagai contoh logam platina meruah yang dikenal sebagai material inert dapat berubah menjadi material katalitik, bila ukurannya diperkecil sehingga mencapai skala nano dan material stabil seperti aluminium dapat berubah menjadi mudah terbakar (combustible). Pendekatan nanoteknologi di bidang energi diprediksi dapat merevolusi teknologi energi secara signifikan.
Penutup
Penguatan Ketahahan Energi dapat dimaksimalkan antara lain melalui penghematan energi dan penggunaan energi terbarukan maupun energi tak terbarukan yang diproses supaya ramah lingkungan, mempercepat penguasaan teknologi di bidang eksplorasi, pengelolaan, konversi, penghematan energi dan teknologi energi baik terbarukan maupun takterbarukan. Disamping memproduksi dan memanfaatkan energi secara optimal di dalam negeri maka Indonesia perlu mengusahakan energi di luar negeri karena disamping memperoleh keuntungan sebagian hasilnya diimpor untuk digunakan di dalam negeri. Terobosan teknologi, misalnya melalui teknologi nano dapat mengurangi biaya operasional dan harga Energi Terbarukan maupun tidak terbarukan akan lebih murah dimasa depan.