Yogyakarta | Pusat Studi Energi (PSE) UGM bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang didukung oleh Ford Foundation dalam melaksanakan kegiatan Diseminasi untuk Kerangka Kebijakan dalam Mendukung Implementasi Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia. Kegiatan FGD ini dihelat di Hotel Pullmans Hotel and Resorts, Jakarta yang dilaksanakan selama 1 (satu) hari penuh pada tanggal 27 Agustus 2024. Peserta dari kegiatan Diseminasi ini, diantaranya Sekretariat JETP, Kementerian ESDM, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, PT PLN (Persero), PT PLN Nusantara Power, PT PLN Energi Primer Indonesia dan Perhutani.
Pada sesi awal, beliau, Bapak Prof. Sarjiya sebagai kepala Pusat Studi Energi (PSE) UGM memberikan sambutan terkait bagaimana penerapan proses transisi energi di Indonesia dengan juga melibatkan peran serta dari masyarakat sekitar dengan prinsip “No One Left Behind”. Dalam hal ini, PSE UGM telah mengeluarkan sebuah dokumen panduan bagi semua pembangku kepentingan dalam berperan mewujudkan transisi energi yang berkeadilan
Selanjutnya, acara dibuka oleh Ibu Maryati Abdullah , selaku program officer dari Ford Foundation. Dalam sambutannya, beliau juga menyampaikan lesson learned dari berbagai negara yang telah melalui masa transisi energi dari energi fosil ke energi ramah lingkungan. Serta implementasi penggunaan just transition fund dalam mendukung transisi energi yang berkeadilan seperti halnya di Inggris. Beliau juga meyakini bahwa sektor energi merupakan kontributor terbesar dalam emisi CO2 sehingga dibutuhkan langkah strategis yang meliputi pengembangan energi terbarukan, pelaksanaan efisiensi energi, dan konservasi energi utamanya berprinsip “No One Left Behid”.
Acara yang dimulai pukul 09:30 pagi berjalan sangat baik, tentunya dengan konsep diskusi yang santai namun tetap serius. Di dalam kegiatan tersebut, tim peneliti PSE UGM yang terdiri dari lintas disiplin mencakup aspek teknis, aspek finansial, aspek sosial dan aspek legal menyampaikan hasil kajian untuk mendukung transisi energi berkeadilan di Indonesia dengan mengangkat tema keterlibatan masyarakat dalam mendukung program PLTU Co-firing di 52 PLTU di Indonesia. Aspek teknis yang diwakili oleh Ekrar Winata menyampaikan bahwa program Co-firing merupakan salah satu viable option menuju terminasi PLTU untuk mengurangi emisi karbon di Indonesia. Dimana secara potensi, Indonesia yang merupakan negara agraris memiliki potensi biomassa yang dapat memenuhi kebutuhan 5% co-firing pada PLTU. Namun yang menjadi catatan adalah ketersediaan industri biomassa yang dapat memasok kebutuhan PLTU. Dari 4 PLTU yang telah dilakukan kajian yaitu, PLTU Pelabuhan Ratu di Sukabumi (Jawa Barat), PLTU Labuan di Pandenglang (Banten), PLTU Pacitan di Sudimoro (Pacitan), dan PLTU Anggrek di Illangata (Gorontalo) baru dapat melaksanakan co-firing di persentase 1-2%.
Di dalam kesempatan selanjutnya, Bapak Ardyanto Fitrady, Ph.D sebagai peneliti untuk bidang ekonomi di PSE UGM juga menyampaikan kapabilitas Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di area PLTU Pelabuhan Ratu yang dapat menjadi aktor penyedia biomassa. Selain itu Bapak R. Derajad Sulistyo Widhyharto juga menyampaikan hasil mengenai kegiatan pemetaan sosial yang telah dilakukan untuk berbagai pemangku kepentingan di sekitar area 4 PLTU. Beliau juga mengidentifikasi bagaimana distribusi manfaat yang telah terjadi dari pelaksanaan PLTU Co-firing selama ini, dimana kegiatan tersebut telah mentrigger kegiatan perekonomian baru di masyarakat utamanya sebagai penyedia biomassa. Di sesi akhir pemaparan PSE UGM, Kenley Wijaya kemudian memaparkan bahwa transisi energi berkeadilan perlu melibatkan peran dari berbagai pemangku kepentingan. Salah satu rekomendasi yang disampaikan adalah Penugasan Urusan Pengelolaan EBT oleh Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota atau Desa. Pemerintah Kabupaten/Kota dan Desa yang belum memiliki kewenangan/dasar penugasan pengelolaan urusan EBT, padahal Pemerintah Kabupaten/Kota dan Desa dapat memiliki pengetahuan yang lebih dalam tentang daerahnya sehingga bisa berperan lebih
Setelah sesi penyampaian hasil kajian oleh PSE UGM, sesi berikutnya merupakan sesi penanggap yang disampaikan oleh beberapa narasumber dari Sekretariat JETP, PT PLN (Persero), Kementerian ESDM, dan KLHK. Pada kesempatan pertama, Bapak Paul Butar Butar dari Sekretariat JETP menyampaikan concern terkait pentingnya menjaga sustainability dari ketersediaan pasokan biomassa. Dengan begitu ekosistem perekonomian baru akan terbentuk di tengah-tengah masyarakat setempat yang berdekatan dengan lokasi PLTU. Selanjutnya catatan penting datang dari PT PLN (Persero) yang disampaikan oleh Bapak Zainal Arifin selaku Executive Vice President Aneka Energi Baru Terbarukan bahwa permasalahan utama yang dihadapi oleh PT PLN (Persero) dalam melaksanakan program co-firing adalah kurangnya minatnya industri penyedia biomassa dikarenakan isu harga yang kurang kompetitif. Sehingga saat ini pelaksanaan co-firing baru sebatas pemanfaatan limbah biomassa dan akan ditingkatkan untuk pengelolaan lahan kritis yang dapat menjadi lahan penanaman biomassa untuk lebih berkelanjutan. Sementara itu, KLHK dan ESDM menyampaikan dukungan penuh dan menyambut baik pelaksanaan program co-firing. Dalam hal ini KLHK telah memiliki perhutanan sosial yang dapat menjadi salah satu lokasi lahan untuk penanaman hutan tanaman energi dan dapat dikelola oleh masyarakat sekitar. Sementara itu, ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No 12 Tahun 2023 tentang Pemanfaatan Bahan Bakar Biomassa sebagai Campuran Bahan bakar pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap. Peraturan ini merupakan sebagai bagian untuk mempercepat pencapaian target energi terbarukan dalam bauran energi nasional, menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan kebijakan energi nasional, dan mendorong perkembangan ekonomi kerakyatan melalui peranan masyarakat dalam penyediaan biomassa sebagai bahan bakar pada pembangkit listrik tenaga uap
Di akhir sesi kegiatan diseminasi ini, Prof Sarjiya menutup dengan menyampaikan harapan bahwa perlu adanya kerja sama dari berbagai pemangku kepentingan untuk mendukung transisi energi berkeadilan di Indonesia. Hal ini dapat terwujud dengan mengenali peran dari masing-masing pihak. Sehingga prinsip No One Left Behid pada proses transisi energi di Indonesia dapat diwujudkan.