Dalam menindaklajuti Rapat Koordinasi PSE UGM sebelumnya, PSE UGM mengadakan rapat konsinyering yang dilaksanakan pada tanggal 21-22 Februari 2025 dan dihadiri oleh tenaga ahli PSE UGM. Rapat ini membahas penyusunan resume kajian, konsep kerja PSE UGM ke depan serta membahas press release PSE UGM. Rapat ini bertujuan untuk merangkum kajian yang telah dilakukan oleh tenaga ahli PSE UGM dan menyusun resume kajian tersebut agar dapat dipublikasikan melalui laman resmi PSE UGM.
News
Jakarta, 22 Januari 2025 – Pusat Studi Energi (PSE) Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama ViriyaENB menggelar audiensi dengan Direktorat Aneka Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) guna membahas pemanfaatan dan regulasi hidrogen hijau di Indonesia. Diskusi yang berlangsung pada Rabu (22/1) ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan dan membahas aspek teknis, regulasi, serta ekonomi dari pengembangan hidrogen hijau sebagai bagian dari transisi energi nasional.
Pembukaan PSE UGM dan Dukungan ViriyaENB terhadap Dekarbonisasi, Audiensi dibuka oleh Prof. Sarjiya Kepala PSE UGM, yang menyoroti pentingnya pemanfaatan hidrogen dalam sektor transportasi, industri, dan energi. Kajian yang telah dilakukan oleh PSE UGM diharapkan dapat menjadi referensi bagi Aneka EBTKE ESDM dalam menyusun kebijakan terkait hidrogen hijau.
Direktur Eksekutif ViriyaENB, suzanty sitorus, menegaskan bahwa visi ViriyaENB adalah mendorong energi nol emisi di Indonesia melalui transformasi sektor industri, transportasi, dan energi. Menurutnya, dukungan terhadap dekarbonisasi tidak hanya terbatas pada pemanfaatan hidrogen hijau, tetapi juga dalam membangun ekosistem yang mendukung perkembangannya.
Diskusi Regulasi dan Roadmap Hidrogen Hijau, Pak Haqi dari Aneka EBTKE ESDM menyampaikan bahwa saat ini pihaknya sedang bekerja sama dengan PSE UGM dalam penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) Hidrogen. Selain itu, roadmap hidrogen yang diharapkan oleh pimpinan Aneka EBTKE ESDM akan segera dipublikasikan sebagai acuan bersama.
Dr. Adhika Widyaparagadari Peneliti PSE UGM menyoroti kajian yang telah dilakukan terkait sektor yang paling optimal dalam menurunkan emisi per dolar yang diinvestasikan. Selain itu, PSE UGM juga tengah mengembangkan kerangka kerja ekosistem pendukung untuk mempercepat pemanfaatan hidrogen hijau dalam proses dekarbonisasi industri. Kajian ini mencakup strategi produksi hidrogen secara onsite maupun distribusi melalui metode konvensional atau listrik.
Taksonomi Hidrogen Hijau dan Harmonisasi Regulasi Dr. Irine Handika menjelaskan bahwa inisiatif pertama terkait hidrogen hijau didorong oleh ViriyaENB dan kampus-kampus yang tergabung dalam diskusi ini. Ia menegaskan bahwa pemerintah perlu mengatur taksonomi hidrogen dengan pendekatan berbasis emisi. Dalam konteks regulasi, terdapat tantangan karena Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi belum selaras dengan transisi energi dan keamanan energi saat ini. Dalam regulasi tersebut, hidrogen hijau dan rendah karbon dikategorikan sebagai energi baru, yang berarti perlakuannya akan sama dengan hidrogen berbasis fosil.
Pak Haqi menyoroti bahwa dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET), hidrogen hijau masih masuk dalam kategori energi baru. Namun, terdapat ruang untuk mengatur lebih lanjut dalam peraturan turunannya. Ia juga menekankan pentingnya menyusun peraturan yang tidak bertentangan dengan regulasi di atasnya untuk menciptakan harmonisasi kebijakan.
Insentif dan Strategi Pengembangan Hidrogen Hijau, Dalam diskusi mengenai insentif, Pak Haqi menegaskan bahwa perlakuan terhadap hidrogen hijau dan hidrogen rendah karbon perlu dibedakan. Hidrogen yang bersumber langsung dari energi terbarukan diharapkan mendapatkan insentif yang lebih besar dibandingkan hidrogen yang masih menggunakan grid listrik dengan sumber campuran energi.

Dr. Adhika Widyaparaga menambahkan bahwa keberhasilan transisi ke hidrogen hijau sangat bergantung pada kebijakan insentif dan harga pajak karbon. Jika insentif bagi hidrogen hijau lebih tinggi dibandingkan hidrogen rendah karbon, maka badan usaha akan lebih cepat beralih ke sumber energi yang lebih bersih.
Sementara itu, Dr. Ardyanto Fitrady menekankan bahwa insentif harus didasarkan pada manfaat ekonomi dan lingkungan yang nyata. Pemerintah perlu mempertimbangkan tidak hanya aspek pengurangan emisi, tetapi juga aspek keberlanjutan investasi dalam hidrogen hijau.
Tantangan dalam Implementasi Hidrogen Hijau, Beberapa tantangan utama dalam implementasi hidrogen hijau juga dibahas dalam audiensi ini. Salah satunya adalah keselarasan antara regulasi yang ada, seperti PP Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan regulasi yang akan datang. Selain itu, terdapat kebutuhan untuk membangun sistem sertifikasi dan akreditasi yang dapat memastikan bahwa hidrogen hijau benar-benar berasal dari sumber energi terbarukan.
Dalam aspek ketenagalistrikan, Dr. Irine Handika menyoroti bahwa hidrogen yang dihasilkan dari pembangkit energi terbarukan harus memiliki sertifikat asal (certificate of origin) agar dapat memenuhi standar hijau. Hal ini juga terkait dengan nomenklatur dalam KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia), yang saat ini masih membahas kategori gas rendah karbon.
Audiensi ini ditutup oleh Prof. Sarjiya yang menyatakan bahwa PSE UGM siap mendukung diskusi lanjutan dan berkolaborasi dengan berbagai pihak dalam pengembangan hidrogen hijau di Indonesia.
Jakarta, 24 Januari 2025 – Pusat Studi Energi (PSE) Universitas Gadjah Mada (UGM) turut hadir dalam Temu Mitra ViriyaENB yang diselenggarakan di kantor ViriyaENB. Kehadiran PSE UGM dalam acara ini menjadi bagian dari upaya kolaboratif dalam mempercepat dekarbonisasi di sektor industri, sekaligus membangun strategi bersama dalam pengurangan emisi karbon di Indonesia.
ViriyaENB dalam pertemuan ini menekankan fokusnya pada dekarbonisasi sektor industri, mengidentifikasi sejumlah tantangan utama, seperti kurangnya koordinasi antar mitra yang bergerak di bidangnya masing-masing, keterbatasan perspektif dalam sektor perindustrian terhadap mitigasi perubahan iklim, serta pentingnya dorongan ambisi dekarbonisasi di tingkat kementerian. Salah satu capaian besar yang telah dicapai adalah penguatan komitmen Menteri Perindustrian dalam menetapkan target emisi nol bersih di sektor industri pada tahun 2050, sebagaimana diumumkan dalam Annual Indonesia Green Industry Summit (AIGIS) pada September 2024.
Dalam forum ini, Kepala Pusat Industri Hijau (PIH), Pak Apit, menitipkan beberapa poin penting untuk didiskusikan bersama mitra, di antaranya perlunya pendekatan dekarbonisasi yang lebih luas tidak hanya di sektor energi tetapi juga sektor lainnya, pengembangan metodologi energy intensity dan carbon intensity yang dapat digunakan sebagai acuan benchmarking industri Indonesia dengan negara lain, serta percepatan penyusunan Standar Industri Hijau (SIH), yang hingga kini baru mencakup 50 dari 500 sektor yang ditargetkan. Selain itu, ViriyaENB juga menyoroti perlunya platform khusus seperti GISCO (Green Industry Service Company) sebagai wadah bagi industri hijau untuk berkolaborasi dalam pembiayaan dan inovasi.
Dalam sesi diskusi, berbagai mitra, termasuk WRI, IESR, dan Climateworks Center, memaparkan berbagai inisiatif yang telah dijalankan untuk mendukung dekarbonisasi industri. WRI menjelaskan tentang penyusunan Industrial Decarbonization Roadmap yang telah dikembangkan bersama Kementerian Perindustrian selama setahun terakhir. Roadmap ini bertujuan untuk memberikan panduan kepada industri dalam memahami relevansi dekarbonisasi dan dampaknya terhadap target nasional. Selain itu, regulasi terkait pengurangan emisi industri juga tengah dirancang untuk mewajibkan perusahaan melakukan dekarbonisasi jika emisinya melebihi ambang batas yang akan ditetapkan oleh Kemenperin.
Sementara itu, IESR menekankan pentingnya kolaborasi dalam pengumpulan data emisi industri serta pembuatan platform untuk memudahkan pelaporan data industri secara sederhana. Mereka juga tengah mengembangkan Indonesia Industrial Decarbonization Outlook dan forum high-level terkait industri berkelanjutan untuk mendukung upaya transisi industri menuju nol emisi karbon.

Climateworks Center, yang turut berkontribusi dalam pengembangan konsep Net Zero Industrial Precincts (NZIP), memaparkan bahwa identifikasi kawasan industri berpotensi tinggi untuk dekarbonisasi telah dilakukan sejak 2021. Dari kajian yang dilakukan, ditemukan 10 kawasan industri potensial yang tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Ke depan, proyek NZIP ini akan diperdalam melalui uji coba di lima kawasan utama yang telah terpilih berdasarkan kriteria energi, teknologi, potensi ekspor, dan kesiapan dekarbonisasi.
PSE UGM juga menyampaikan pandangannya dalam diskusi ini, menegaskan perlunya strategi yang berbasis data untuk menentukan sektor prioritas dalam penerapan hidrogen hijau sebagai bagian dari transisi energi. Selain itu, PSE UGM menyoroti pentingnya sertifikasi independen dalam mengakreditasi penggunaan energi bersih oleh industri, agar industri yang telah berinvestasi dalam dekarbonisasi dapat memperoleh pengakuan dan manfaat ekonomi yang lebih jelas.
Acara ditutup dengan diskusi mengenai langkah-langkah yang perlu diambil ke depan, termasuk peningkatan sinergi antar mitra, percepatan penyusunan kebijakan dekarbonisasi, serta pemetaan industri yang siap bertransformasi menuju keberlanjutan. Temu Mitra ViriyaENB ini menjadi momentum penting untuk memperkuat komitmen kolektif dalam mendorong transisi industri yang lebih hijau dan berkelanjutan di Indonesia.
Prof. Ir. Sarjiya, MT., Ph.D, IPU menjadi salah satu pembicara dalam acara International Conference on Nuclear Science Technology and Applications (ICONSTA) 2024 yang diselenggarakan pada tanggal 13-14 November 2024. Konferensi ini bertemakan “Opportunities and Challenges of Nuclear Science and Technology for A Better Future”. Konferensi ini menjadi platform bagi berbagai pemangku kepentingan, organisasi untuk mendiskusikan situasi saat ini, tantangan, dan kemajuan yang berkaitan dengan ilmu nuklir, teknologi dan aplikasinya.
Prof. Sarjiya mengatakan bahwa saat ini pemerintah kian serius dalam menggarap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia. Nuklir sendiri tergolong bagian dari energi baru dan terbarukan dalam upaya mencapai target nol emisi bersih pada tahun 2060. Nuklir adalah energi sumber terbersih lantaran sedikit menghasilkan gas rumah kaca. Emisi CO2 yang dihasilkan yaitu 6 ton CO2 per GWh.

Namun dalam pembangunan PLTN di Indonesia terdapat beberapa tantangan yaitu masalah keamanan dan keselamatan, pengelolaan limbah serta regulasi. Keamanan menjadi tantangan yang serius dalam pembangunan PLTN. PLTN memiliki resiko yang tinggi terhadap kecelakaan dan bencana alam. Oleh karena itu, pemerintah harus menjamin bahwa standar keamanan dan keselamatan yang ketat diterapkan dalam setiap tahap pembangunan dan operasinya. Reaktor nuklir Gene IV memiliki beberapa keuntungan dengan generasi sebelumnya, yaitu sistem keselamatan aktif dan pasif yang efektif untuk mencegah kecelakaan nuklir, penghentian reaktor secara otomatis, pendingin alternatif, siklus bahan bakar tertutup, serta hasil energi yang 100-300 kali besar dari jumlah bahan bakar nuklir yang sama.
Selain itu, pengelolaan limbah juga menjadi salah satu tantangan dalam pembangunan PLTN. Limbah radioaktif yang dihasilkan oleh PLTN harus dikelola dengan baik untuk mencegah dampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Pemerintah harus memastikan bahwa ada fasilitas pengelolaan limbah radioaktif yang aman dan efektif, serta kebijakan yang jelas mengenai pembuangan limbah radioaktif. Sebagai contoh di Finlandia menyimpan limbah bahan bakar nuklir sekitar 450 meter di bawah tanah dan dapat menyimpan limbah radioaktif tinggi selama 100.000 tahun. Ini adalah tempat penyimpanan limbah bahan bakar nuklir pertama di dunia.
Ketergantungan terhadap impor minyak mentah untuk pemenuhan kebutuhan LPG semakin meningkat. Melihat kondisi tersebut pemerintah terus berupaya untuk melakukan substitusi penggunaan LPG ke gas bumi pada sektor rumah tangga. Mengingat cadangan gas bumi nasional sangat besar. Penggunaan gas bumi untuk rumah tangga dapat diwujudkan dengan pembangunan jaringan distribusi gas. Namun terdapat beberapa faktor menjadi tantangan dalam pengembangan gas bumi untuk sektor rumah tangga ini, seperti infrastruktur yang masih sedikit, faktor keamanan jaringan terhadap potensi kebocoran dan harga gas bumi.
Oleh karena itu, PSE UGM mengadakan FGD dengan tema “Komersialisasi dan Keekonomian Pengembangan Gas Bumi untuk Optimasi Produksi LPG” yang diselenggarakan pada tanggal 5 November 2024, dihadiri oleh SKK Migas, KKKS serta pembeli gas bumi yang meliputi PT. Arsynergy Resources, PT. Essa Industries Indonesia Tbk, PT. Titis Sampurna, PT. Prosympac Oil and Gas, dll). Kegiatan FGD ini membahas strategi dan kajian terkait komersialisasi serta keekonomian pengembangan gas bumi, sebagai bentuk komitmen dalam optimasi produksi LPG.
Universitas Gadjah Mada menjadi universitas pertama menjadi tuan rumah EHEF (European Higher Education Fair) di Indonesia yang diadakan di Graha Sabha Pramana pada tanggal 30 Oktober 2024. Acara ini meliputi berbagai macam rangkaian yaitu pameran dan seminar. Prof. Ir. Sarjiya, MT., Ph.D., IPU diundang sebagai panelis dalam acara seminar yang bertajuk “Opportunity in Green Engineering for Green Transition and Research Opportunity”.
Dalam kegiatan ini diharapkan dapat memperoleh informasi mengenai program pelatihan dan riset yang dikembangkan oleh PSE UGM antara lain bidang renewable energy, electrical energy management, thermal energy management, manufacturing technology, safety management, industrial process technology, information technology, dan geophysics, serta peluang pengembangan jejaring dan kerja sama dengan pusat studi energi di Eropa.
Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2024 diselenggarakan oleh Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) yang digelar berkolaborasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). IETD ini berlangsung pada tanggal 4-6 November 2024 dengan tema “Mewujudkan Transisi Energi yang Berkeadilan dan Tertata”.
IETD 2024 dapat menjadi wadah penting bagi para pemangku kepentingan untuk berdiskusi dan mencari solusi sebagai upaya mempercepat transisi energi di Indonesia menuju keberlanjutan yang lebih hijau. Transisi energi berkeadilan harus menjadi prinsip utama untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat, sekaligus mendukung pencapaian visi Indonesia Emas 2045. Wangi Pandan Sari, Ph.D dari PSE UGM yang menjadi salah satu pembicara dalam acara IETD 2024 mengatakan bahwa pengembangan hidrogen hijau merupakan salah satu upaya dalam mendukung transisi energi. Faktor penting dalam pengembangan hidrogen hijau adalah value chain. Value chain pengembangan hidrogen yang ada saat ini terhambat oleh besarnya biaya distribusi hidrogen melalui pipa ataupun truk. PSE UGM memberikan alternatif value chain hidrogen hijau untuk menekan biaya distribusi.
Alternatif 1 adalah penggunaan green certificate yang menjamin listrik untuk produksi hidrogen bersumber dari energi terbarukan (EBT). Pabrik H2 dibangun di fasilitas pengguna dan diproduksi menggunakan listrik yang dihasilkan oleh energi terbarukan (divalidasi dengan sertifikat hijau) yang didistribusikan menggunakan transmisi yang sudah ada.
Alternatif 2 adalah Pabrik H2 dibangun di fasilitas pengguna dan diproduksi menggunakan listrik yang dihasilkan oleh energi terbarukan yang didistribusikan menggunakan transmisi khusus (harus dikembangkan jika belum ada).
Alternatif 3 adalah Pabrik H2 dibangun di fasilitas pengguna dan diproduksi menggunakan listrik yang dihasilkan oleh energi terbarukan yang didistribusikan menggunakan transmisi khusus (harus dikembangkan jika belum ada). Sertifikat hijau tidak diperlukan untuk alternatif ini.
PSE UGM melakukan kunjungan ke FabLab serta melakukan survey pengembangan desa hidrogen di Serangan Bali. Desa Serangan menjadi lokasi percontohan Desa Hidrogen Hijau yang bertujuan untuk memperkenalkan inovasi hidrogen ramah lingkungan yang mudah diakses, dan aman digunakan bagi masyarakat pesisir di Bali.
Desa Hidrogen Hijau berperan sebagai model untuk pusat inovasi dan produksi hidrogen hijau berbasis masyarakat yang menawarkan masyarakat dengan pengetahuan dan alat untuk mandiri diiringi dengan memperbaiki lingkungan sekitarnya, menciptakan jalan baru untuk ekowisata dan tujuan pendidikan.
Inisiatif ini juga didukung oleh Viriya ENB dan sejalan dengan tujuan Pemerintah Provinsi Bali untuk mencapai Bali Net Zero Emission pada tahun 2045 yang diwujudkan melalui upaya kolaboratif dari WRI Indonesia, IESR, New Energy Nexus, Fab Lab dan CAST Foundation.
Berdasarkan kunjungan, Wakil Kepala Ardyanto Fitrady dan Tim Kajian Hidrogen Pusat Studi Energi UGM, Tomas Diez Executive Director dari Fab City Foundation mengatakan bahwa fokus dari Fablab ini adalah mencoba membuat frugal prototype teknologi produksi dan pemakaian hidrogen. Pendekatan sosial masih menjadi yang utama untuk mendapatkan kepercayaan dari komunitas Banjar dan Desa Serangan. Kedepannya akan ada rencana penggunaan fuel cell.
Bogor | Pusat Studi Energi (PSE) UGM bekerja sama dengan Direktorat Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM dalam melaksanakan kegiatan Diseminasi untuk Pemutakhiran Data Potensi Teoritis dan Potensi Teknis Bioenergi di Indonesia. Kegiatan Diseminasi ini dihelat di IPB Convention Center, Bogor yang dilaksanakan selama 1 (satu) hari penuh pada tanggal 25 Oktober 2024. Peserta dari kegiatan Diseminasi ini, diantaranya Dewan Energi Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, PT PLN (Persero), PT PLN Nusantara Power, PT PLN Energi Primer Indonesia, Perhutani, PTPN dan BRIN.
Pada sesi awal, beliau, Bapak Edi Wibowo sebagai Direktur Bioenergi, memberikan sambutan terkait urgensi melakukan pemutakhiran potensi bioenergi nasional. Dengan dilakukannya revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Kebijakan Energi Nasional, maka sasaran energi final biomass pada tahun 2030 menjadi 15.8 – 21.9 juta ToE. Untuk sektor transportasi di tahun 2030, ditargetkan penggunaan bioetanol sebesar 4% dan 35% dari biodiesel. Sehingga pendataan terkait potensi bioenergi di Indonesia dapat membantu dalam perumusan target penggunaan bioenergi di Indonesia.
Selanjutnya, Bapak Prof. Sarjiya sebagai kepala Pusat Studi Energi (PSE) UGM memberikan sambutan terkait potensi bioenergi yang memiliki porsi yang sangat besar dalam pemenuhan target bioenergi nasional. Untuk itu, perlu pemahaman terkait bagaimana melakukan pemetaan potensi bioenergi secara teoritis dan teknis di Indonesia. Terdapat 14 komoditas bioenergi dengan menggunakan sumber data dari Badan Pusat Statistik, Badan Informasi Geospasial, Global Forest Watch, Earth Explorer dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dapat digunakan untuk menghitung potensi bioenergi teoritis dan teknis di Indonesia. Sehingga dengan adanya database potensi bioenergi di Indonesia dapat memberikan masukan dalam melakukan pemenuhan target bauran energi nasional dari potensi bioenergi.
Acara yang dimulai pukul 09:00 pagi berjalan sangat baik, tentunya dengan konsep diskusi yang santai namun tetap serius. Di dalam kegiatan tersebut, tim peneliti PSE UGM yang terdiri dari lintas disiplin mencakup aspek teknis dan finansial menyampaikan hasil kajian pemutakhiran potensi bioenergi di Indonesia. Aspek teknis yang diwakili oleh Tomy Listyanto, Ekrar Winata dan Windi Sari menyampaikan metodologi dan hasil perhitungan dari pemutakhiran potensi bioenergi di Indonesia.
Setelah sesi penyampaian hasil kajian oleh PSE UGM, sesi berikutnya merupakan sesi penanggap yang disampaikan oleh beberapa narasumber dari Dewan Energi Nasional (DEN), PLN, dan Perhutani. Pada kesempatan pertama, Bu Lisa dari DEN menyampaikan concern terkait Terkait biomassa, biogas, dan bioethanol menjadi sumber energi yang penting dalam PP KEN. Terdapat program pemerintah yang mendukung strategi pemerintah untuk melakukan pemanfaatan potensi bioenergi. Selanjutnya hasil perhitungan potensi ini sangat baik untuk ditingkatkan hingga level potensi market. Sehingga hasil perhitungan potensi langsung dapat digunakan untuk perencanaan yang lebih detail. Pada kesempatan berikutnya, dari PT PLN (Persero) menyampaikan kesiapan untuk mendukung pengembangan bioenergi di Indonesia dimana saat ini secara total PLN telah mengoperasikan 590 MW pembangkit bioenergi di Indonesia.
Di akhir sesi kegiatan diseminasi ini, Pak Moristanto dari Direktorat Bioenergi menyampaikan bahwa pemutakhiran potensi bioenergi di Indonesia untuk terus dapat dilakukan termasuk prioritisasi pengembangan bioenergi di salah satu lokasi yang potensial karena potensi bioenergi masih menjadi tumpuan kedepannya. Biomassa masih menjadi cukup signifikan dalam pemenuhan bauran energi di Indonesia.
Pusat Studi Energi UGM berkunjung ke Makassar dalam rangka program Net Zero Carbon Communities (NZCC) yang dilaksanakan pada tanggal 4-10 Oktober 2024. Kunjungan tersebut disambut langsung oleh Asisten III Bidang Administrasi Umum Kota Makassar, Andi Irwan Bangsawan, didampingi Plt Kadis Kominfo Makassar, Ismawaty Nur, Kabag Kerja Sama, Zulfitra, serta perwakilan dari SKPD terkait lainnya. Pertemuan ini membahas berbagai paparan seperti ASEAN Smart City Program, Proyek Ketahanan Iklim, kemajuan Lorong Wisata (Smart Garden Alley), dan inisiatif Net Zero Energy Community. Dalam sambutannya, Andi Irwan Bangsawan menyampaikan bahwa pemerintah kota menyambut baik hal tersebut karena sangat sejalan dengan program Low Carbon City yang telah dicanangkan saat Rakorsus. Dr. Rachmawan Budiarto selaku leader Tim Zero Carbon dari UGM menyatakan bahwa saat ini Program Zero Carbon Community sangat layak dikembangkan di Kota Makassar melihat berbagai potensi yang ada.
Kegiatan ini didanai oleh Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, NSF Amerika Serikat dan Pemerintah Kota Makassar. Program NZCC ini bertujuan untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan di kota serta meresmikan instalasi panel surya (PV) di tiga lokasi di Makassar yakni Kelurahan Tanjung Merdeka, Kelurahan Bira serta Kelurahan Buntusu. Dengan adanya instalasi panel surya, diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan memberikan kontribusi signifikan terhadap pengurangan emisi karbon.
