Komposisi PLTU yang berkontribusi lebih dari 50% dari total pembangkitan listrik pada sistem ketenagalistrikan nasional, maka peranan batu bara menjadi sangat krusial untuk menjaga security of supply, tarif listrik yang terjangkau, penyangga baseload sistem kelistrikan, dan pemenuhan bahan bakar dari aset PLTU yang sudah terbangun. Namun terdapat tantangan penyediaan energi batu bara seperti availability, accessibility, affordability dan acceptability.
Meski dengan segala tantangan tersebut, keberadaan batu bara masih sangat dibutuhkan dalam penyediaan energi listrik secara andal. Selanjutnya, sesuai target Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) pada tahun 2030 dan transisi energi menuju Net Zero Emission (NZE) tahun 2060, PLN dalam RUPTL (Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik) 2021 menunjukkan arah transisi energi dalam perencanaan penyediaan energi listrik di Indonesia. Dokumen ini menetapkan target meningkatkan proporsi energi terbarukan dalam matriks energi Indonesia. Tantangan utama dalam pengembangan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia meliputi aspek teknis, keuangan, regulasi, dan sosial.
PLN dalam hal ini memprogramkan co-firing biomassa pada PLTU sebagai salah satu aksi mitigasi cepat dalam kategori Renewable Energy (RE) pada sektor energi sekaligus sebagai tahapan transisi energi menuju NZE tahun 2060. Co-firing biomassa untuk PLTU merupakan solusi yang tepat untuk mewujudkan target tersebut karena jenis biomassa yang beragam, ketersediaannya yang melimpah, kemampuannya untuk mereduksi emisi karbon, dan minimnya penyesuaian infrastruktur yang diperlukan di pembangkit sehingga dapat lebih cepat diimplementasikan.
Namun, hal yang perlu dikritisi pada co-firing biomassa ini adalah rantai pasok biomassa dan komponen penyusun harga biomassa untuk co-firing dimana ekosistem biomasa termasuk yang berbasis limbah belum berkembang secara matang seperti batu bara dan energi primer lainnya. Sumber pasokan biomassa yang tersebar, perlunya pemrosesan bahan mentahnya secara sederhana hingga rumit, sebagian keberadaannya yang jauh dari PLTU, serta konflik sosial dalam tahapan penyediaanya merupakan tantangan utama rantai pasok biomassa. Tantangan ini perlu didorong dengan kebijakan harga biomassa yang selama ini dibatasi dengan harga DMO batu bara dengan meningkatkan efisiensi rantai pasok penyediaan batu bara, selain itu juga perlu mendorong kebijakan yang mendukung pengembangan bisnis untuk UMKM agar rantai pasok dan harga keekonomian biomassa dapat bersaing dengan energi primer lain.
Oleh karena itu, PT. PLN menyeleggarakan Forum Group Discussion ini pada tanggal 23 Juli 2024 yang bertujuan untuk mengidentifikasi resiko, tantangan serta mitigasinya pada rantai pasok dan komponen pembentuk harga batu bara, biomassa, dan EBT lainnya; peran strategis penyediaan biomassa termasuk yang berbasis limbah dengan keterlibatan dan partisipasi masyarakat untuk implementasi co-firing PLTU; mendapatkan dukungan pemerintah dalam aspek kebijakan, regulasi dan subsidi/kompensasi bahan bakar energi primer; perbandingan biaya investasi pembangkit baseload dan LCOE co-firing biomassa dengan EBT lainnya (solar panel dengan battery, PLTU CCU atau CCUS, wind power, hydro power, geothermal, PLTSa, dan green hydrogen). Forum Group Discussion ini dihadiri oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Keuangan Republik Indonesia, PT. PLN (Persero), PT. PLN Nusantara Power, PT. PLN Indonesia Power, PT. PLN Energi Primer Indonesia, Asosiasi Ketua Umum Masyarakat Energi Biomassa Indonesia serta para akademisi Universitas Gadjah Mada dan Institut Teknologi Bandung.