Oleh : Dr. Irine Handika, S.H., LL.M., Dr. Mailinda Eka Yuniza, S.H., LL.M., Stephanie Kristina Susanto, S.H., Kenley Wijaya. (Peneliti Pusat Studi Energi, Universitas Gadjah Mada)
Pendahuluan
Dalam upaya menanggulangi perubahan iklim, Indonesia telah meneguhkan komitmennya untuk melakukan transisi energi. Untuk mendukung langkah ini, melalui pertemuan G20, Indonesia berhasil mendapatkan komitmen dana sebesar 20 Miliar Dolar AS dari berbagai negara yang tergabung dalam Just Energy Transition Partnerships (JETP).
Salah satu hal yang membedakan JETP dibandingkan transisi energi pada umumnya adalah penekanannya pada konsep “just” atau keadilan. Just Energy Transition (JET) tidak hanya berfokus pada kecepatan transisi energi, tetapi juga pada bagaimana transisi tersebut dapat terwujud secara adil bagi semua pihak.
Dalam mewujudkan konsep JET, Sekretariat JETP telah membentuk Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP). Salah satu muatan penting dari dokumen CIPP ini adalah Framework/kerangka JET Indonesia, yang akan menjadi panduan utama dalam mengimplementasikan JETP.
Kerangka Just Energy Transition Indonesia dan Kelemahannya
Kerangka JET dalam CIPP memuat tiga lapisan:
- pondasi dasar, yang terdiri dari 3 hal yaitu Hak Asasi Manusia, Kesetaraan & Pemberdayaan Gender, serta Akuntabilitas
- Pilar, yang terdiri dari 2 hal yaitu Tidak Ada yang Ditinggalkan/Left No One Behind serta Keberlanjutan dan Ketahanan.
- Standar transisi berkeadilan yang meliputi 9 standar yakni:
- warisan budaya;
- pemindahan dan pemukiman kembali;
- masyarakat setempat dan adat;
- Tenaga Kerja dan kondisi kerja;
- keanekaragaman hayati dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan;
- perubahan iklim dan risiko bencana;
- kesehatan keamanan dan keselamatan masyarakat;
- pencegahan polusi dan efisiensi sumber daya;
- diversifikasi dan transformasi ekonomi.
Mengingat peran penting kerangka JET yang dimuat dalam CIPP tersebut, penting dilakukan evaluasi kembali terhadap kerangka yang telah dibuat untuk memastikan kerangka tersebut dapat menjadi pedoman yang efektif bagi pelaksanaan JETP di Indonesia. Masih terdapat beberapa kelemahan dalam formulasi kerangka JET yang tercantum dalam CIPP saat ini.
Pertama, hubungan antar lapisan kerangka tidak jelas dan membingungkan. Tidak ada gambaran jelas mengenai bagaimana satu lapisan berinteraksi dan mempengaruhi lapisan lainnya. Bahkan tidak ada kejelasan mengenai dibutuhkan pemisahan menjadi ketiga lapisan tersebut. Untuk mengilustrasikan ketidakjelasan ini, bayangkan jika kita memindahkan Pondasi dasar kesetaraan gender dan pemberdayaan menjadi salah satu dari sembilan standar. Pemindahan tersebut tidak akan menimbulkan perbedaan signifikan dalam implementasi prinsip kesetaraan gender tersebut dalam konteks transisi yang adil. Jika tidak ada perbedaannya, lalu apa fungsi dari pemisahan lapisan tersebut? Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan komplikasi selama implementasi transisi yang adil, menyebabkan kebingungan tentang prinsip-prinsip mana yang seharusnya diprioritaskan.
Bandingkan kerangka JET Indonesia tersebut dengan kerangka Just Transition yang dirumuskan oleh International Labour Organization (ILO). Kerangka JET dari ILO terdiri dari tujuh prinsip yang mudah dipahami dan diterapkan yakni:
- Konsensus sosial yang kuat (pengambilan keputusan bersama) terhadap tujuan dan proses menuju transisi yang adil adalah fundamental. Dialog harus menjadi bagian integral dari kerangka kebijakan dan implementasi di semua tingkat. Konsultasi yang memadai, terinformasi, dan berkelanjutan harus dilakukan dengan semua pemangku kepentingan yang relevan.
- Kebijakan harus menghormati, mempromosikan, dan mewujudkan hak-hak dasar di tempat kerja.
- Kebijakan dan program perlu mempertimbangkan aspek gender dari tantangan dan peluang transisi. Kebijakan gender khusus harus dipertimbangkan untuk mempromosikan hasil yang adil.
- Kebijakan yang mencakup semua aspek ekonomi, lingkungan, sosial, dan pendidikan/pelatihan harus menciptakan lingkungan yang memungkinkan perusahaan, pekerja, investor, dan konsumen untuk mendorong transisi menuju ekonomi dan masyarakat yang inklusif dan berkelanjutan.
- Kebijakan juga harus menyediakan kerangka transisi kerja yang adil untuk semua untuk mendorong penciptaan pekerjaan yang lebih layak.
- Tidak ada kerangka yang sesuai untuk semua (No one size fits all); kebijakan dan program perlu dirancang sesuai dengan kondisi khusus setiap negara, termasuk tahap pengembangan, sektor ekonomi, dan jenis serta ukuran perusahaan.
- Dalam menerapkan strategi pembangunan berkelanjutan, seharusnya terdapat kerjasama internasional antara negara-negara. Dalam konteks ini, hasil Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan (Rio+20) dapat dipertimbangkan.
Kedua, tidak diperhatikannya aspek transisi pekerja yang terdampak oleh transisi energi. Transisi energi yang pesat berpotensi menyebabkan hilangnya lapangan kerja di industri-industri lama tertentu yang di tinggalkan beserta seluruh rantai nilainya, termasuk hilangnya lapangan kerja secara langsung, tidak langsung, terinduksi, dan informal. Contohnya, Pemensiunan PLTU akan menyebabkan masyarakat yang bekerja di PLTU tersebut kehilangan pekerjaannya. tidak hanya orang yang bekerja secara langsung dalam PLTA tersebut, aktivitas ekonomi di sekitarnya yang menunjang PLTU tersebut transportasi lokal, akomodasi perumahan, dan tokoh-tokoh kecil juga akan ikut terdampak. Lebih lanjut, rantai perekonomian di hulu dan hilir seperti sektor pertambangan batu bara juga akan ikut terdampak sehingga berpotensi merugikan masyarakat yang mengandalkannya sebagai sumber mata pencaharian. Kondisi tersebut memaksa terjadinya transisi pekerja. Namun, melakukan transisi pekerjaan tidak semudah itu.
Belum tentu ada sektor lain yang siap untuk menerima ribuan pekerja yang baru saja di PHK. Bahkan jika ada sektor yang membutuhkan SDM tambahan, para pekerja yang baru saja di PHK belum tentu memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk terjun ke sektor baru yang membutuhkan tenaga kerja tersebut. Oleh karena itu, transisi berkeadilan memerlukan sebuah mekanisme untuk mengakomodasi kelompok pekerja tersebut dan menjamin bahwa mereka dapat melakukan transisi pekerjaan sehingga kesejahteraan mereka tetap terjaga. Namun, prinsip perlindungan transisi pekerja tersebut belum diakomodasi dalam standar JET dalam CIPP karena standar ke-4 tentang tenaga kerja dan kondisi kerja hanya memperhatikan supaya pekerja di sektor energi yang memang masih aktif bekerja mendapatkan hak-hak dasar mereka sebagai pekerja.
Ketiga, tidak ada standar yang secara eksplisit memberikan prioritas kepada aktor lokal/domestik untuk mendapatkan peluang dan perlindungan dibandingkan dengan pemangku kepentingan internasional. Standar ini penting karena adanya disparitas kekuatan antara aktor lokal/domestik dan internasional, yang mengancam kemampuan aktor lokal/domestik untuk mendapatkan manfaat dari transisi energi. Tidak adanya upaya khusus untuk memprioritaskan aktor lokal/domestik berpotensi menyebabkan sektor transisi energi di Indonesia didominasi oleh Pihak Asing.
Dampaknya, yang menerima manfaat paling besar dari transisi energi di sektor asing adalah pihak asing juga, bukan masyarakat Indonesia. Sehingga, perlu diperhatikan juga bahwa disini masyarakat Indonesia harus mendapatkan keadilan berupa manfaat yang signifikan dari transisi energi mengingat menurut konstitusi NKRI, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Permasalahan yang disebutkan di atas hanyalah tiga contoh kecil dari ketidaksempurnaan kerangka JET di Indonesia.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Berlatarbelakang dari kelemahan-kelemahan yang telah dipaparkan sebelumnya, terdapat tiga rekomendasi yang dapat diterapkan untuk memperbaiki kerangka JET Indonesia.
- Melakukan penyederhanaan kerangka JET Indonesia menjadi lebih mudah dipahami dan diimplementasikan seperti yang telah disusun oleh ILO.
- Menambahkan prinsip yang melindungi pekerja-pekerja yang kehilangan pekerjaannya akibat transisi energi serta menyediakan mekanisme transisi kerja bagi mereka.
- Menambahkan prinsip yang melindungi secara khusus dan memprioritaskan aktor-aktor lokal/domestik untuk bisa memainkan peran yang lebih aktif dan menjamin mereka mendapat manfaat dari transisi energi.
Selain itu, perlu di ingat bahwa masyarakat memiliki peran krusial dalam penyusunan konsep dasar dan kerangka transisi berkeadilan di Indonesia. Partisipasi masyarakat menjadi kunci untuk memastikan bahwa keadilan yang diinginkan dalam konteks transisi energi benar-benar dapat terwujud. Keterlibatan dan masukan dari masyarakat lebih lanjut dibutuhkan untuk membantu mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu diperbaiki atau ditambahkan dalam definisi tersebut. Dengan demikian, konsep transisi berkeadilan dapat lebih akurat mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat dalam menghadapi perubahan menuju energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.