Mekanisme Penetapan Harga BBM secara RASIONAL dan BERKEADILAN, yang dapat diterima secara Ekonomi, Sosial dan Politik serta mendorong
Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan
Setiap penetapan kebijakan Penaikan Harga BBM Subsidi selalu saja diwarnai dengan “kegaduhan”. Pemicu kegaduhan tersebut di antaranya wacana yang dilontarkan oleh pemerintah yang berkaitan dengan besaran kenaikan harga BBM, penetapan dua harga, waktu penetapan harga BBM, dan upaya pembatasan konsumsi BBM. Eskalasi kegaduhan semakin meningkat, manakala pemerintah membawa keputusan penaikan harga BBM ke ranah politik dengan melibatkan DPR untuk ikut memutuskannya.
Padahal, kegaduhan yang berkepanjangan menimbulkan ketidakpastian yang justru mempeburuk kondisi ekonomi makro, yang berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi, menaikan inflasi, dan melemahkan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Ujung-ujungnya, memburuknya ekonomi makro tersebut menyebabkan penurunan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan angka kemiskinan rakyat Indonesia.
Ketidakpastian penaikan harga BBM menyulitkan bagi Pengusaha dalam menetapkan Harga Pokok Penjualan, sehingga tidak sedikit Penguasaha yang masih menunggu kepastian dari Pemerintah. Kalau sikap menunggu ini menyebabkan menurunkan kapasitas produksi akan berakibat menurunkan capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Selain berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi, ketidakpastian juga memberikan kontribusi terhadap melemahnya kurs rupiah terhadap dollar. Ketidakpastian itu memicu jebolnya kuota konsumsi BBM yang meningkatkan volume impor Migas. Pada gilirannya, peningkatan volume impor Migas akan membengkaknya defisit neraca perdagangan, yang berpotensi melemahkan kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat. Dua bulan lalu kurs rupiah terhadap dollar masih pada kisaran Rp. 9.600, namun hari-hari ini kurs rupiah semakin melemah pada kisaran di atas Rp. 9.800 per satu dollar. Bahkan sempat melampaui batas ambang psikologis di atas Rp. 10.000 per satu dollar.
Ironisnya, jebolnya kuota konsumsi BBM tersebut salah satunya dipicu oleh ulah penimbunan dan penyelundup BBM bersubsidi. Pemerintah sendiri memperkirakan sekitar
30% dari total kuota BBM yang diselewengkan melalui penimbunan dan penyelundupan. Tidak ayal lagi, subsidi BBM yang mencapai Rp. 193 triliun, tidak hanya dinikmati oleh orang kaya pemilik mobil mewah, tetapi juga dinikmati oleh para penimbun dan penyelundup BBM untuk menangguk keuntungan dalam jumlah yang besar. Sementara, rakyat miskin yang tidak pernah mengkonsumsi BBM, karena tidak memiliki kendaraan bermotor, harus menanggung beban hidup akibat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sebelum penaikan BBM.
Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok tersebut sudah pasti memberikan kontribusi terhadap tekanan inflasi, yang akan menggerus penghasilan bagi penduduk berpenghasilan tetap sehingga menurunkan daya beli masyarakat. Dampaknya, kesejateraan rakyat semakin menurun dan proses pemiskinan rakyat semakin cepat sebelum penaikan harga BBM diputuskan. Padahal rakyat miskin belum mendapatkan BLSM, lantaran BLSM baru akan disalurkan pasca penaikan harga BBM.
Seolah sudah menjadi kelaziman di negeri ini, setelah terjadi hiruk-pikuk wacana penaikan harga BBM, pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, dan pengembangan BBA baru dan terbarukan, akhirnya pemerintah selalu memilih alternatif kebijakan yang paling gampang dengan memutuskan hanya penaikan harga BBM saja, sedangkan wacana pembatasan konsumsi BBM bersubsidi dan pengembangan BBA baru dan terbarukan dilupkan begitu saja. Kalau tahun berikutnya terjadi lagi kenaikan harga minyak dunia, pola kebijakan serupa terulang kembali.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, Pusat Studi Energi (PSE) UGM telah melaksanakan FGD dengan tema: “Mekanisme Penetapan Harga BBM secara RASIONAL dan BERKEADILAN, yang dapat diterima secara Ekonomi, Sosial dan Politik serta mendorong Pengembangan Energi Terbarukan”
Kegiatan Tersebut dilaksanaka pada Jumat 19 Juli 2013 di Ruang Sidang Pusat Studi Energi UGM. Dalam diskusi tersebut hadir tiga narasumber yang berkompeten natara lain :
1. Dr. Rimawan Pradipto, M.A, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM
2. Rofyanto Kurniawan Pusat Kebijakan APBN, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI
3. Saryono Hadiwidjoyo, Komite BP Migas Hilir, Kementerian ESDM RI
Beberapa sub-topik yang akan dibahas di antaranya:
1. Perlunya disusun mekanisme baku dalam penetapan besaran harga BBM berdasarkan indikator terkur, yang dapat meminimkan tekanan inflasi sebagai dampak kenaikan harga BBM bersubsidi
2. Perlunya ditetapkan momentum waktu penaikan harga BBM secara bertahap sehingga waktu penaikan tsb tidak bersamaan saat siklus inflasi yang biasanya sedang tinggi, misalnya tidak bersamaan dengan tahun ajaran baru, Ramadhan, dan Hari Raya Iedul Fitri.
3. Perlunya diputuskan bahwa pada saatnya besaran penaikan harga BBM harus sama dengan harga keekonomian atau harga final BBM berap persen di bawah di bawah harga keekonimian.
4. Kalau besaran harga harus sama dengan harga keenomian, apa saja dampak bagi bagi perekonomian Indonesia, APBN dan potensi asing dalam penguasaan sektor hilir
5. Kalau besaran harga ditetapkan di bawah harga keekonomian, apa dampaknya terhadap rencana migrasi dari BBM ke BBG dan pengembangan BBA baru dan terbarukan
Dalam diskusi tersebut dihadiri oleh beberapa elemen antara lain :
1. Pokja Panel Ahli Kedaulatan Energi UGM
2. Komite Kedaulatan Energi Mahasiswa UGM
3. Dosen-dosen UGM
4. Mahasiswa S1, S-2, dan S-3
5. Wartawan FORTA UGM