PROSPEK DAN STRATEGI PENGGUNAAN BIOETANOL SEBAGAI BBN
DI INDONESIA
(Karna Wijaya, Manajer Biofuel, Katalis dan Hidrogen, PSE-UGM)
Riset tentang kemungkinan pemanfaatan bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati di Indonesia sebenarnya sudah dilakukan sejak lama, namun pemakaiannya sebagai bahan bakar masih jauh dari harapan kita semua. Walaupun himbauan pemerintah kepada pemakai kendaraan pribadi untuk menggunakan bensin pertamax namun pemilik kendaraan di Indonesia saat ini masih senang menikmati BBM bersubsidi karena harganya yang relatif murah dan terjangkau semua kalangan mulai dari kalangan atas sampai kalangan menengah ke bawah. Namun dengan naiknya harga BBM dari waktu ke waktu maka secara signifikan perbedaan harga BBM dan BBN bioetanol di masa-masa mendatang akan semakin tipis. Harga premium bersubsidi saat ini sekitar Rp.4500,-/liter lebih rendah dari harga bioetanol yang mencapai Rp. 8000,-/liter atau hampir 2 kali lipat harga bensin premium. Dengan harga seperti itu sudah pasti PT.Pertamina akan merugi jika tetap memaksakan diri menjual bioetanol sebagai biopremium dengan harga Rp.4500,-/liter. Persoalan pemakaian bioetanol atau etanol sebagai substitusi BBM juga terkendala pasokan bioetanol dan atau etanol pertahun yang relatif masih rendah. Saat ini konsumsi bensin premium perbulan mencapai 1,5 juta kiloliter sedangkan pasokan etanol perbulan di Indonesia kira-kira hanya mencapai 500 kiloliter perbulan.
Sebenarnya kalau kita kaji, Indonesia sangat berprospek mengembangkan bioetanol sendiri. Pertama, bahan baku berupa tanaman berpati dan bergula tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia begitu pula sumber lignoselulosa (Tabel 1).
Tabel 1. Rencana Startegis Pengembangan Bioetanol di Indonesia
berbahan baku tebu dan ubi kayu
Uraian | 2006 | 2007 | 2008 | 2009 | 2010 |
Tebu :
Luas (juta hektar) Volume (juta kiloliter/tahun |
10 – |
30 0,19 |
200 1,25 |
250 1,56 |
750 4,56 |
Ubi Kayu :
Luas (juta hektar) Volume (juta kiloliter/tahun |
100 – |
100 0,042 |
400 1,70 |
700 2,98 |
1500 6,77 |
Sumber data: Rama Prihandana dan Roy Hendroko,dkk, Bioetanol Ubi
Kayu, 2007,hlm 57. (dikutip dari Gan Thay Kong, Peran
Biomassa bagi Energi Terbarukan, 2002,jlm.12).
Dengan kata lain soal ketersediaan bahan baku bioetanol yang berkelanjutan bukan merupakan masalah lagi. Kedua, sumber daya manusia yang berpotensi dan kompeten untuk mengembangkan bioetanol juga tersedia baik di perguruan-perguruan tinggi, lembaga-lembaga penelitian, UMKM maupun industri. Ketiga, biaya pembuatan pabrik dan production cost bioetanol relatif murah. Jadi mengapa program substitusi BBM dengan bioetanol di Indonesia tersendat? Bagaimana upaya yang harus kita lakukan untuk melancarkan program itu?
Untuk menjawab dan mengatasi persoalaan tersebut diperlukan langkah-langkah atau strategi jitu dari pemerintah antara lain dengan mewajikan sektor transportasi PSO (Public Service Obligation) dan non PSO, industri dan pembangkit tenaga listrik secara bertahap menggunakan BBN dengan persentase tertentu (Mandatori BBN), mendirikan pabrik bioetanol secara ekstensif, mengatur tata niaga bioetanol, membuat road map pengembangan energi bioetanol yang jelas dan meningkatkan penelitian praktis penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar kendaran dan mesin, terutama pembuatan bioetanol generasi kedua, sosialisasi BBN bioetanol ke masyarakat, pemberdayaan masyarakat untuk mengembankan bioetanol secara mandiri (pembangunan Desa Mandiri Energi), subsidi BBN bioetanol dan pengawasan impor bioetanol serta membudidayakan tanaman penghasil bioetanol yang tidak mengganggu keamanan pangan (non edible)
Strategi pertama berupa Mandatori BBN praktis telah ditandatangani oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro dan telah dinyatakan berlaku efektif sejak januari 2009. Mandatori ini mengatur penggunaan BBN secara bertahap. Dengan mandatori tersebut diharapkan pada tahun 2025 penggunaan bioetanol akan mencapai 15% dari kebutuhan total bahan bakar Indonesia.
Agar pasokan bioetanol terjamin maka dibutuhkan pabrik-pabrik bioetanol yang dapat mencukupi kebutuhan bioetanol nasional yang dikuti dengan tata niaga bioetanol yang transparan,jelas serta dilaksanakan secara bertahap. Tata niaga dapat dimulai dari pengadaan bahan baku, pengolahan bahan baku menjadi bioetanol dan pemasaran bioetanol. Tata niaga bioetanol seyogyanya difasilitasi oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga terkait.
Penelitian penggunaan bioetanol generasi pertama memilik banyak kelemahan antara lain sumber bioetanol yang dipakai bergesekan dengan sumber pangan, misalnya jagung, sorgum dan tebu. Generasi kedua bioetanol mensyaratkan pemakaian bahan baku yang berasal dari biomassa non edible, seperti jerami, tongkol jagung, serbuk gergaji dan sebagainya. Namun riset tentang bioetanol generasi kedua khususnya di Indonesia masih kurang berkembang. Di Amerika riset tentang bioetanol generasi kedua, misalnya bioetanol selulosik sudah mendekati scale up ke industri. Pada tahun 2011 Amerika berencana membangun pabrik bioetanol selulosik dengan kapasitas 50-100 juta gallon.
Agar pengembangan energi bioetanol di Indonesia lebih terarah maka diperlukan road map sektor energi bioetanol. Pembuatan road map adalah tugas lembaga pemerintah yang bekompeten, misalnya Kementerian Riset dan Energi dibantu para pakar dari perguruan tinggi, dan lembaga atau institusi terkait.
Betapapun bagusnya program pemerintah jika tidak diikuti sosialisasi dan implementasi ke masyarakat maka program tersebut menjadi tumpul. Saat ini pemahaman masyarakat tentang bioetanol sebagai BBN dirasa relatif masih rendah, sehingga pemasyarakatan bioetanol menjadi kurang optimal. Sosialisasi berkelanjutan melalui kuliah kerja nyata mahasiswa dan lewat bebagai media utamanya televisi dan surat kabar perlu ditingkatkan. Pembangunan Desa mandiri Energi (DME) merupakan strategi pemerintah untuk membangun ketahanan energi melalui masyarakat pedesaan. Jika masyarakat desa dapat memenuhi sendiri kebutuhan akan energinya sendiri, minimal 60% maka desa tersebut dikatakan telah mandiri energi. DME diharapkan dapat menjadi solusi signifikan untuk mengatasi kebutuhan energi bangsa. Pembangunan DME masih terus berjalan sejak tahun 2009 dan saat ini telah mencapai 1000 DME tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai contoh sukses pembangunan DME adalah Kabupaten Minahasa Selatan. Masyarakat lokal telah berhasil mengembangkan home industry bioetanol dari nira. Melalui industri rumahan ini mereka mampu menghasilkan 1 liter bioetanol per pohon nira perhari. Bioetanol ini kemudian mereka gunakan untuk kendaraan pemerintah setempat. Program DME ini akan lebih berhasil apabila didukung dan melibatkan berbagai instansi pemerintah, LSM dan perguruan tinggi.
Kenaikan harga tetes tebu sebagai bahan baku bioetanol yang mencapai 100% (USD 65/ton pada tahun 2008 menjadi USD 125-130/ton pada tahun 2009) dan kemungkinan dibukanya kran impor bioetanol dari Brazilia berpotensi menghancurkan industri bioetanol di Indonesia. Pemberian subsidi (seandainya layak secara ekonomi) kepada BBN bioetanol dalam negeri seperti halnya BBM dan pembatasan impor bioetanol diharapkan mampu mempertahankan industri bioetanol yang sudah ada saat ini.
Bahan baku bioetanol di tiap daerah atau Negara sangat tergantung kepada sumber daya alam nabatinya. Di Indonesia sumber bioetanol sangat berlimpah, sebut saja tebu, jagung,singkong, buah-buahan, nira dan sebagainya. Dalam program pengadaan BBN Nasional tidak semua tanaman tersebut layak secara ekonomi untuk digunakan sebagai bahan baku bioetanol. Pemerintah dan rakyat sebaiknya lebih fokus hanya kepada tanaman yang mudah dibudidayakan saja.