Jakarta, 22 Januari 2025 – Pusat Studi Energi (PSE) Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama ViriyaENB menggelar audiensi dengan Direktorat Aneka Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) guna membahas pemanfaatan dan regulasi hidrogen hijau di Indonesia. Diskusi yang berlangsung pada Rabu (22/1) ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan dan membahas aspek teknis, regulasi, serta ekonomi dari pengembangan hidrogen hijau sebagai bagian dari transisi energi nasional.
Pembukaan PSE UGM dan Dukungan ViriyaENB terhadap Dekarbonisasi, Audiensi dibuka oleh Prof. Sarjiya Kepala PSE UGM, yang menyoroti pentingnya pemanfaatan hidrogen dalam sektor transportasi, industri, dan energi. Kajian yang telah dilakukan oleh PSE UGM diharapkan dapat menjadi referensi bagi Aneka EBTKE ESDM dalam menyusun kebijakan terkait hidrogen hijau.
Direktur Eksekutif ViriyaENB, suzanty sitorus, menegaskan bahwa visi ViriyaENB adalah mendorong energi nol emisi di Indonesia melalui transformasi sektor industri, transportasi, dan energi. Menurutnya, dukungan terhadap dekarbonisasi tidak hanya terbatas pada pemanfaatan hidrogen hijau, tetapi juga dalam membangun ekosistem yang mendukung perkembangannya.
Diskusi Regulasi dan Roadmap Hidrogen Hijau, Pak Haqi dari Aneka EBTKE ESDM menyampaikan bahwa saat ini pihaknya sedang bekerja sama dengan PSE UGM dalam penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) Hidrogen. Selain itu, roadmap hidrogen yang diharapkan oleh pimpinan Aneka EBTKE ESDM akan segera dipublikasikan sebagai acuan bersama.
Dr. Adhika Widyaparagadari Peneliti PSE UGM menyoroti kajian yang telah dilakukan terkait sektor yang paling optimal dalam menurunkan emisi per dolar yang diinvestasikan. Selain itu, PSE UGM juga tengah mengembangkan kerangka kerja ekosistem pendukung untuk mempercepat pemanfaatan hidrogen hijau dalam proses dekarbonisasi industri. Kajian ini mencakup strategi produksi hidrogen secara onsite maupun distribusi melalui metode konvensional atau listrik.
Taksonomi Hidrogen Hijau dan Harmonisasi Regulasi Dr. Irine Handika menjelaskan bahwa inisiatif pertama terkait hidrogen hijau didorong oleh ViriyaENB dan kampus-kampus yang tergabung dalam diskusi ini. Ia menegaskan bahwa pemerintah perlu mengatur taksonomi hidrogen dengan pendekatan berbasis emisi. Dalam konteks regulasi, terdapat tantangan karena Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi belum selaras dengan transisi energi dan keamanan energi saat ini. Dalam regulasi tersebut, hidrogen hijau dan rendah karbon dikategorikan sebagai energi baru, yang berarti perlakuannya akan sama dengan hidrogen berbasis fosil.
Pak Haqi menyoroti bahwa dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET), hidrogen hijau masih masuk dalam kategori energi baru. Namun, terdapat ruang untuk mengatur lebih lanjut dalam peraturan turunannya. Ia juga menekankan pentingnya menyusun peraturan yang tidak bertentangan dengan regulasi di atasnya untuk menciptakan harmonisasi kebijakan.
Insentif dan Strategi Pengembangan Hidrogen Hijau, Dalam diskusi mengenai insentif, Pak Haqi menegaskan bahwa perlakuan terhadap hidrogen hijau dan hidrogen rendah karbon perlu dibedakan. Hidrogen yang bersumber langsung dari energi terbarukan diharapkan mendapatkan insentif yang lebih besar dibandingkan hidrogen yang masih menggunakan grid listrik dengan sumber campuran energi.
Dr. Adhika Widyaparaga menambahkan bahwa keberhasilan transisi ke hidrogen hijau sangat bergantung pada kebijakan insentif dan harga pajak karbon. Jika insentif bagi hidrogen hijau lebih tinggi dibandingkan hidrogen rendah karbon, maka badan usaha akan lebih cepat beralih ke sumber energi yang lebih bersih.
Sementara itu, Dr. Ardyanto Fitrady menekankan bahwa insentif harus didasarkan pada manfaat ekonomi dan lingkungan yang nyata. Pemerintah perlu mempertimbangkan tidak hanya aspek pengurangan emisi, tetapi juga aspek keberlanjutan investasi dalam hidrogen hijau.
Tantangan dalam Implementasi Hidrogen Hijau, Beberapa tantangan utama dalam implementasi hidrogen hijau juga dibahas dalam audiensi ini. Salah satunya adalah keselarasan antara regulasi yang ada, seperti PP Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan regulasi yang akan datang. Selain itu, terdapat kebutuhan untuk membangun sistem sertifikasi dan akreditasi yang dapat memastikan bahwa hidrogen hijau benar-benar berasal dari sumber energi terbarukan.
Dalam aspek ketenagalistrikan, Dr. Irine Handika menyoroti bahwa hidrogen yang dihasilkan dari pembangkit energi terbarukan harus memiliki sertifikat asal (certificate of origin) agar dapat memenuhi standar hijau. Hal ini juga terkait dengan nomenklatur dalam KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia), yang saat ini masih membahas kategori gas rendah karbon.
Audiensi ini ditutup oleh Prof. Sarjiya yang menyatakan bahwa PSE UGM siap mendukung diskusi lanjutan dan berkolaborasi dengan berbagai pihak dalam pengembangan hidrogen hijau di Indonesia.