Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) mengatakan, pemerintah harus melakukan terobosan kebijakan yang lebih menarik untuk investasi energi baru dan terbarukan (EBT).
“Jaminan limpahan sumber daya energi baru dan terbarukan tidak cukup. Perlu terobosan kebijakan untuk menarik investasi dan investor guna pengembangannya, ” kata Ketua Umum METI Hilmi Panigoro usai paparan tentang World Renewable Energy and Energy Efficiency Conference (WREEEC) 2011 di Jakarta, Senin (20/12).Menurut dia, kebijakan baru itu khususnya menyangkut harga dan kewajiban pasok (mandatory). Sebab, tahun 2011 menjadi momentum untuk dikeluarkannya kebijakan baru yang menarik untuk investasi EBT.Berdasarkan data International Energy Agency, total investasi energi baru dan terbarukan dunia mencapai 140 miliar dolar AS, namun baru 1 persennya yang diambil Indonesia.Pada kesempatan yang sama, Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luluk Sumiarso mengatakan, pemerintah tengah menyiapkan regulasi sebagai payung hukum pengembangan EBT.Pemerintah berjanji, Undang-Undang (UU) Penggunaan Energi Baru dan Terbarukan akan rampung pada 2011. Saat ini banyak energi baru yang masih belum dioptimalkan penggunaannya.Misalnya Indonesia memiliki potensi panas bumi sekitar 28.000 megawatt (MW), namun yang baru terpakai sekitar 1.200 MW. Begitu juga dengan energi air yang memiliki potensi 78.000 MW, tapi baru terpakai di bawah 10 persen.Pasar GlobalDi tempat terpisah, pengamat hubungan internasional Muhadi Sugiono dan peneliti Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Sudiartono mengatakan, pemerintah perlu memaksimalkan diplomasi politik luar negeri dalam kompetisi percaturan pasar energi dunia. Ini dimaksudkan untuk mengamankan pasokan dan kebutuhan energi nasional.Apalagi mengingat negara-negara besar dunia, seperti India, China, Jepang, dan Korea Selatan, terus mengamankan kebutuhan energi dengan mendapatkan akses selain dari Timur Tengah. “Ketergantungan setiap negara dunia semakin tinggi terhadap sumber energi,” katanya.Dia mengatakan, China sebagai salah satu negara yang menyumbang 12 persen total konsumsi energi di dunia, kini mengembangkan pasar impor di luar negeri. Ini dilakukan dengan mendukung perusahaannya melakukan eksploitasi di luar negeri, yakni di Asia Tengah dan Rusia, Timur Tengah, dan Afrika Utara serta Amerika Latin. Sementara Jepang dan Korea Selatan kini mencari alternatif sumber energi selain Timur Tengah, yakni Siberia Timur.Sedangkan Sudiartono menilai, China dan India saat ini sangat agresif untuk mengamankan cadangan energi minyak mereka untuk melindungi perusahaan nasionalnya.Namun, pemanfaatan energi di China sepenuhnya dimanfaatkan untuk memproduksi barang dan jasa yang menghasilkan devisa negara. Berbeda dengan Indonesia, lemahnya penguasaan teknologi menyebabkan pemanfaatan energi hanya memenuhi kebutuhan konsumtif.