Pada tanggal 01 Maret 2024 yang lalu, Pusat Studi Energi UGM melakukan diseminasi hasil penelitian dengan judul Kajian Tematik Pengembangan Hidrogen Bersih di Indonesia. Penelitian tersebut merupakan hasil kerjasama antara PSE UGM, GIZ Indonesia, dan Kementerian PPN/Bappenas. Acara diseminasi dihadiri oleh Kementerian Bappenas, Direktorat Aneka EBTKE, BRIN, BUMN, dan stakeholder terkait lainnya.
Pengembangan hidrogen dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi emis gas rumah kaca utamanya bagi sektor-sektor yang belum terelektrifikasi. Pada acara tersebut, PSE UGM menyampaikan hasil kajian yang telah dilakukan mencakup potensi pemanfaatan hidrogen hijau, value chain pengembangan hidrogen hijau, sektor-sektor prioritas pengembangan hidrogen hijau, dan kebutuhan regulasi untuk industri hidrogen hijau Indonesia.
Pada kajian yang dilakukan oleh PSE UGM, terdapat beberapa potensi pemanfaatan hidrogen hijau yang ditekankan yaitu feedstock untuk produksi ammonia, produksi methanol (bahan baku untuk plastic, resin, dan bahan bakar), bahan bakar atau energi untuk kendaraan (fuel cell), penyimpanan energi untuk kelistrikan, dan reduksi logam murni seperti produksi besi. Potensi pemanfaatan hidrogen hijau lain mencakup hidrogenasi, hydrocracking, dan desulfurisasi.
Prioritisasi penngembangan hidrogen perlu dilakukan dikarenakan adanya keterbatasan sumber daya. PSE UGM melakukan prioritisasi terhadap beberapa sektor dengan potensi pemanfaatan hidrogen yaitu ammonia, transportasi (light vehicle), transportasi kereta, dan transportasi laut. Analisis prioritisasi dilakukan dengan menghitung cost effectiveness yaitu sektor dengan penurunan emisi paling tinggi untuk setiap EUR1 investasi yang dilakukan. Berdasarakan hasil perhitungan PSE UGM, sektor dengan nilai cost effectiveness paling baik adalah transportasi kereta dan ammonia. Setelah mengetahui sektor prioritisasi pengembangan hidrogen maka perlu dilakukan identifikasi faktor-faktor pendukung dalam pengembangan hidrogen hijau.
Pertama, faktor penting dalam pengembangan hidrogen hijau adalah value chain. Value chain pengembangan hidrogen yang ada saat ini terhambat oleh besarnya biaya distribusi hidrogen melalui pipa ataupun truk. PSE UGM memberikan alternatif value chain hidrogen hijau untuk menekan biaya distribusi. Alternatif 1 adalah penggunaan green certificate yang menjamin listrik untuk produksi hidrogen bersumber dari energi terbarukan (EBT). Pabrik H2 dibangun di fasilitas pengguna dan diproduksi menggunakan listrik yang dihasilkan oleh energi terbarukan (divalidasi dengan sertifikat hijau) yang didistribusikan menggunakan transmisi yang sudah ada. Alternatif 2 adalah Pabrik H2 dibangun di fasilitas pengguna dan diproduksi menggunakan listrik yang dihasilkan oleh energi terbarukan yang didistribusikan menggunakan transmisi khusus (harus dikembangkan jika belum ada). Alternatif 3 adalah Pabrik H2 dibangun di fasilitas pengguna dan diproduksi menggunakan listrik yang dihasilkan oleh energi terbarukan yang didistribusikan menggunakan transmisi khusus (harus dikembangkan jika belum ada). Sertifikat hijau tidak diperlukan untuk alternatif ini.
Kedua, kerangka regulasi yang tepat dan menyeluruh juga diperlukan untuk mendukung pengembangan hidrogen hijau. Beberapa poin penting dalam penyusunan kerangka regulasi adalah regulasi induk yang mengatur hidrogen, regulasi yang mengatur sertifikasi hidrogen, dan skema kelembagaan pengembangan hidrogen hijau. Pengembangan regulasi induk diharapkan dapat mengatur tentang ketentuan umum, tujuan dan sasaran, kategorisasi hidrogen, rantai pasok, tata Kelola, dan mekanisme monitoring.
Setelah melakukan pemaparan terkait hasil kajian di atas, acara diseminasi ditutup dengan masukan dari beberapa peserta diseminasi. Saran dan masukan tersebut terkait dengan keterlibatan lembaga penelitian dan universitas dalam pengembangan ekosistem hidrogen hijau.