• UGM
  • IT Center
  • Library
  • Research
  • Webmail
Universitas Gadjah Mada Pusat Studi Energi
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • Tentang PSE
    • Pengantar
    • Visi dan Misi
    • Kegiatan
    • Kerjasama
    • Personalia
  • Program Kerja
  • Jasa
    • Jasa Survei Geofisika untuk Eksplorasi Air Tanah
    • Jasa Survei Geofisika untuk Geoteknik
    • Jasa Audit Energi
  • PENELITIAN
  • Pelatihan
  • Kontak
  • Beranda
  • Pos oleh
  • page. 8
Pos oleh :

admin

BIODIESEL DARI MINYAK GORENG BEKAS

Renewable EnergyUncategorized Wednesday, 21 December 2011

MENGAKTUALKAN KEMBALI KONVERSI MINYAK GORENG BEKAS MENJADI BIODIESEL

Karna Wijaya, Manajer Biofuel, Katalis dan Hidrogen, PSE-UGM

Dewasa ini sumber energi utama yang digunakan di berbagai Negara adalah minyak bumi. Eksploitasi secara ekstensif dan berkepanjangan menyebabkan cadangan minyak bumi semakin menipis dan harganya melonjak secara tajam dari tahun ke tahun. Di antara berbagai produk olahan minyak bumi, seperti bensin, minyak tanah, minyak solar, dan avtur. Solar merupakan bahan bakar yang tergolong paling banyak digunakan karena kebanyakan alat transportasi, alat pertanian, penggerak generator listrik dan peralatan berat lainnya menggunakan solar sebagai sumber energi. Mengingat arti penting solar serta cadangan minyak bumi yang semakin menipis, berbagai upaya  telah dilakukan untuk mencari energi alternatif pengganti bahan bakar diesel tersebut. Bahan bakar alternatif yang saat ini sangat menjanjikan sebagai pengganti petrodisel adalah minyak sawit dan hasil olahannya yang disebut dengan biodiesel. Namun sayangnya minyak sawit memiliki sifat mudah teroksidasi dan menjadi rusak karena minyak sawit banyak mengandung asam lemak. Penggunaan langsung minyak sawit dapat menyebabkan kerusakan mesin diesel karena hasil pembakaran minyak sawit membentuk deposit pada pipa injektor mesin diesel dan asap berlebih. Selain itu minyak sawit juga memiliki viskositas yang lebih tinggi dari pada petrodiesel. Dari sisi ekonomi penggunaan minyak sawit secara langsung juga kurang menguntungkan karena harus bersaing dengan minyak goreng komersial yang pada gilirannya mengganggu ketahanan pangan. Konversi minyak sawit murah seperti CPO parit atau minyak goreng bekas menjadi biodiesel diperlukan agar minyak sawit dapat digunakan sebagai bahan bakar tanpa mengganggu ketahanan pangan.

Biodiesel yang secara umum didefinisikan sebagai ester monoalkil dari tanaman dan lemak hewan merupakan bahan bakar alternatif yang sangat potensial digunakan sebagai pengganti solar karena kemiripan karakteristiknya. Selain itu biodiesel yang berasal dari minyak nabati merupakan bahan bakar yang dapat diperbaharui (renewable), mudah diproses, harganya relatif stabil, tidak menghasilan cemaran yang berbahaya bagi lingkungan (non toksik) serta mudah terurai secara alami. Untuk mengatasi kelemahan minyak sawit, maka minyak sawit itu harus dikonversi terlebih dahulu menjadi bentuk metil atau etil esternya (biodiesel). Bentuk metil atau etil ester ini relatif lebih ramah lingkungan namun juga kurang ekonomis karena menggunakan bahan baku minyak sawit goreng. Sementara itu, minyak goreng bekas atau jelantah dari industri pangan dan rumah tangga cukup banyak tersedia di Indonesia. Minyak jelantah ini tidak baik jika  digunakan kembali untuk memasak karena banyak mengandung asam lemak bebas dan radikal yang dapat membahayakan kesehatan. Sebenarnya konversi langsung minyak jelantah atau minyak goreng bekas menjadi biodisel sudah cukup lama dilakukan oleh para peneliti biodiesel namun beberapa mengalami kegagalan, karena minyak goreng bekas mengandung asam lemak bebas dengan konsentrasi cukup tinggi. Kandungan asam lemak bebas dapat dikurangi dengan cara mengesterkan asam lemak bebas dengan katalis asam homogen, seperti asam sulfat atau katalis asam heterogen seperti zeolit atau lempung teraktivasi asam. Skema di bawah ini memperlihatkan proses pembuatan biodesel dari minyak goreng bekas yang mengadopsi prinsip zero waste process.

Skema 1. Siklus pengolahan minyak bekas/jelantah menjadi biodiesel

Hasil penelitian oleh peneliti dari tahun 2005 hingga saat ini menunjukkan bahwa biodiesel yang diproduksi dari minyak sawit bekas (jelantah) memiliki kualitas yang hampir sama baiknya dengan biodiesel standard yang dipersyaratkan oleh ASTM dan diesel perdagangan sehingga biodiesel yang merupakan hasil konversi minyak sawit goreng bekas memiliki peluang untuk dipasarkan baik di dalam negeri maupun untuk diekspor. Kendala utama yang dihadapi untuk keperluan produksi masal adalah pasokan serta harga minyak goreng bekas yang mungkin sangat berfluaktif dari waktu ke waktu.

Tabel 1. Salah satu contoh hasil uji ASTM biodiesel dari minyak goreng bekas (didanai oleh DP2M-DIKTI)

Mengingat minyak goreng bekas relatif mudah dan murah didapat maka sudah selayaknya pemerintah, masyarakat, industri dan peneliti juga mulai memperhatikan potensi pengembanganya. Di Jepang konversi minyak goreng bekas menjadi biodiesel sudah mencapai titik ultimate dan telah digunakan sebagai bahan bakar biosolar sarana transportasi, sementara di Indonesia ketersediaan minyak goreng bekas sangat melimpah, begitu pula penelitian tentang konversi minyak goreng bekas menjadi biodiesel sudah mapan dan cukup lama,  namun dalam prakteknya masih sangat sedikit sarana transportasi yang menggunakan biodiesel minyak goreng bekas.

Reaktualisasi dan rekomendasi

Setelah sekian lama terpendam, riset dan pengembangan biodiesel dari minyak goreng bekas di Indonesia, khususnya dari minyak sawit perlu diaktualkan kembali, beberapa rekomendasi yang dapat kita lakukan bersama-sama adalah: membangun zona pengembangan biodiesel dari minyak goreng bekas, memetakan potensi minyak goreng bekas pada zona pengembangan, mengatur tata niaga penjualan minyak goreng bekas sehingga harga tidak berfluktuasi secara tajam, menjamin pasokan bahan baku, memberikan insentif kepada pelaku industri biodiesel berbasis minyak goreng bekas, mempromosikan bahaya penggunaan minyak goreng bekas untuk memasak, menjamin keamanan pasokan bahan baku untuk industri biodiesel dan memantapkan kembali teknologi pengolahan minyak goreng bekas menjadi biodiesel (biodiesel refinery technology)

BIOFUEL DARI BIOMASSA

PenelitianRenewable EnergyUncategorized Monday, 12 December 2011

Oleh KARNA WIJAYA (Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada)

Biomassa sebagai sumber biofuel

Biomassa adalah material yang berasal dari organisma hidup yang meliputi tumbuh-tumbuhan, hewan dan produk sampingnya seperti sampah kebun, hasil panen dan sebagainya. Tidak seperti sumber-sumber alamiah lain seperti petroleum, batubara dan bahan bakar nuklir, biomassa adalah sumber energi  terbarukan yang berbasis pada siklus karbon.Biomassa bisa digunakan secara langsung maupun tidak langsung sebagai bahan bakar. Briket arang, briket sekam padi, briket ranting dan daun kering adalah contoh bahan bakar biomassa yang dapat digunakan secara langsung sebagai bahan bakar pemanas atau sumber tenaga. Nilai kalor bakar biomassa bervariasi tergantung kepada sumbernya. Pemakaian biomassa dapat memberi kontribusi yang signifikan kepada managemen sampah, ketahanan bahan bakar dan perubahan iklim. Di pedesaan, utamanya di negara-negara berkembang, biomassa dari kayu, daun, sekam padi dan jerami  merupakan bahan bakar utama untuk pemanasan dan memasak. Catatan dari International Energy Agency menunjukkan bahwa energi biomassa menyediakan 30% dari suplai energi utama di beberapa berkembang. Dewasa ini lebih dari 2 juta penduduk dunia masih tergantung kepada bahan bakar biomassa sebagai sumber energi primer. Pemakaian biomassa secara langsung dapat menghemat bahan bakar fosil, akan tetapi disisi lain jika dipakai dalam ruang tanpa ventilasi yang memadai bahan bakar biomassa yang digunakan secara langsung dapat membahayakan kesehatan. Laporan International Energy Agency dalam World energy Outlook 2006 menyebutkan bahwa 1.3 juta orang di seluruh dunia meninggal karena pemakaian biomassa secara langsung. Selain pennggunaan secara langsung sebagai bahan bakar padat, biomassa dapat diolah menjadi berbagai jenis biofuel cair dan gas.

Biofuel merupakan bahan bakar terbarukan yang cukup menjanjikan. Biofuel dapat secara luas didefinisikan sebagai padatan, cairan atau gas bakar yang mengandung atau diturunkan dari biomassa. Definisi yang lebih sempit mendefinisikan biofuel sebagai cairan atau gas yang berfungsi sebagai bahan bakar transportasi yang berasal dari biomasssa. Biofuel dipandang sebagai bahan bakar alternatif yang penting karena dapat mengurangi emisi gas dan meningkatkan ketahanan energi. Penggunaan minyak nabati (BBN) sebagai bahan biofuel sebenaranya sudah dimulai pada tahun 1895 saat Dr. Rudolf Christian Karl Diesel mengembangkan mesin motor yang dijalankan dengan BBN. BBN saat itu adalah minyak yang didapatkan langsung dari pemerasan biji sumber minyak, yang kemudian disaring dan dikeringkan. Bahan bakar minyak nabati mentah yang digunakan pada mesin diesel buatan Dr. Rudolf Christian Karl Diesel tersebut berasal dari minyak sayur. Namun karena pada saat itu produksi minyak bumi berlimpah dan murah, maka BBN untuk mesin diesel tersebut secara perlahan-lahan diganti dengan minyak solar dari minyak bumi. Selain itu BBN yang didominasi oleh trigliserida memiliki viskositas dinamik yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan solar. Viskositas bahan bakar yang tinggi akan menyulitkan pengaliran bahan bakar ke ruang bakar sehingga dapat menurunkan kualitas pembakaran dan daya mesin. Oleh karena itu, untuk penggunaan BBN secara langsung mesin diesel harus dimodifikasi terlebih dahulu, misalnya dengan penambahan pemanas BBN untuk menurunkan viskositas. Pemanas dipasang sebelum sistem pompa dan injektor bahan bakar.

Saat ini biofuel telah digunakan di berbagai negara, industri biofuel tersebar di Eropa, Amerika dan Asia. India, misalnya mengembangkan biodiesel dari tanaman jarak pagar (Jatropha). Kebanyakan biofuel dipakai untuk transportasi otomotif. India mentargetkan penggunaan 5% bioetanol sebagai bahan bakar transportasi, sementara cina sebagai prodesen utama etanol di Asia mentargetkan 15% bioetanol sebagai bahan bakar transportasinya pada tahun 2010. Biofuel dapat diproduksi dari sumber-sumber karbon dan dapat diproduksi dengan cepat dari biomassa. Sebagai Negara agraris Indonesia sangat potensial mengembangkan industri biofuel nya sendiri. Pertama, bahan baku berupa tanaman energi tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Produksi tanaman energi  dari tahun ke tahun juga cenderung meningkat sehingga kita tidak perlu kawatir kekurangan sumber energi nabati ini. Sebagai contoh  luas perkebunan tebu dan ubi kayu dari tahu ketahun meningkat dengan tajam. Kedua jenis tanaman tersebut merupakan bahan baku pembuatan bioetanol.

 

Tabel 1. Potensi EBT (Biofuel) di Indonesia

(diolah dari  Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2005 – 2025, Lampiran B, Jakarta, 2005)

Bioetanol

Bioetanol saat ini merupakan biofuel yang paling banyak digunakan. Di USA pada tahun 2004 produksi etanol (termasuk bioetanol) mencapai 3 sampai dengan 4 billion gallons dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Bioetanol adalah bahan bakar alternatif yang prospektif karena beberapa alasan seperti tidak member kontribusi pada pemanasan global, dapat dicampur dengan gasoline sampai 10% (E10) dapat dibuat dari bahan-bahan alami (biomassa) yang dapat diperbaharui (renewable) seperti ubi kayu, jagung dan buah-buahan.  Sebagai pengganti MTBE (methyl tertiary butyl ether) yang potensial. MTBE adalah aditif bahan bakar (fuel additive) yang bersifat toksik dan dewasa ini banyak digunakan di beberapa negara.

Bioetanol pada prinsipnya adalah etanol yang diperoleh melalui proses fermentasi sehingga dinamakan bioetanol. Bioetanol dihasilkan dari distilasi bir hasil fermentasi. Bioetanol merupakan bahan bakar nabati yang relatif mudah dan murah diproduksi sehingga industri rumahan sederhana pun mampu membuatnya. Biasanya bioetanol dibuat dengan teknik fermentasi biomassa seperti umbi-umbian, jagung atau tebu dan dilanjutkan dengan destilasi. Bioetanol dapat digunakan secara langsung maupun tidak langsung sebagai bahan bakar. Untuk bahan bakar kendaraan bermotor terlebih dahulu bioetanol harus dicampur dengan premium dengan perbandingan tertentu. Hasil pencampuran ini kemudian disebut dengan Gasohol (Gasoline Alcohol). Gasohol memiliki performa yang lebih baik daripada premium karena angka oktan etanol lebih tinggi daripada premium. Selain itu gasohol juga lebih ramah lingkungan daripada premium. Penguapan bioetanol dari cair ke gas juga tidak secepat bensin. Karena itu pemakaian bioetanol murni pada kendaraan dapat menimbulkan masalah. Tetapi masalah dapat diatasi dengan mengubah desain mesin dan reformulasi bahan bakar.

 

Biodiesel

Biodiesel atau alkil ester bersifat sama dengan solar, bahkan  lebih  baik nilai cetanenya. Riset tentang biodiesel telah dilakukan di seluruh dunia khususnya di  Austria, Jerman, Perancis, dan Amerika Serikat. Bahan baku utamanya antara lain minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak bunga matahari. Di Hawaii biodiesel dibuat dari  minyak goreng bekas dan di Nagano, Jepang bahan baku dari restoran-restoran cepat saji telah dipakai sebagai bahan baku biodiesel. Saat ini biodiesel telah merebut 5% pangsa pasar ADO (automotive diesel oil) di Eropa. Pada tahun 2010 Uni-Eropa mentargetkan pencapaian sampai 12%. Malaysia telah mengembangkan pilot plant biodiesel berbahan baku minyak sawit dengan kapasitas berkisar 3000 ton/hari yang telah siap memenuhi kebutuhan solar transportasi. Secara keseluruhan Saat ini di dunia telah terdapat lebih dari 85 pabrik biodiesel berkapasitas 500 – 120.000 ton/tahun dan pada 7 tahun terakhir ini 28 negara telah menguji-coba biodiesel sebagai pengganti BBM, 21 di antaranya kemudian memproduksi. Amerika dan beberapa negara Eropa bahkan telah menetapkan Standar Biodiesel yang kemudian diadopsi di beberpa Negara berkembang.

Di Indonesia biodiesel biasanya menggunakan bahan baku minyak sawit mentah (Crude Palm Oil), minyak nyamplung, minyak jarak, minyak kelapa, palm fatty acid distillate (PFAD) dan minyak ikan. Biodiesel dapat digunakan pada mesin diesel tanpa modifikasi. Biodiesel dibuat dengan berbagai metode. Transesterifikasi adalah salah satu teknik pembuatan biodiesel yang paling popular dewasa ini karena aman, murah dan mudah dilakukan. Biodiesel bersifat ramah lingkungan karena tidak memberi kontribusi kepada pemanasan global, mudah didegradasi, mengandung sekitar 10% oksigen alamiah yang bermanfaat dalam pembakaran dan dapat melumasi mesin. Keuntungan-keuntungan lain pada penggunaan biodiesel adalah mudah dibuat sekalipun dalam sekala rumah tangga (home industry) dan menghemat sumber energi yang tidak terbarukan (bahan bakar fosil) serta dapat mengurang biaya biaya kesehatan akibat pencemaran udara. Pemanfaatan sumber-sumber nabati seperti minyak kelapa dan CPO (Crude Palm Oil) baik minyak segar maupun bekas (jelantah) sebagai bahan baku produksi biodiesel juga merupakan keuntungan karena dapat membuka peluang usaha bagi petani dan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menegah (UMKM).

 

Biogas

Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktivitas anaerobik atau fermentasi dari bahan-bahan organik termasuk diantaranya; kotoran manusia dan hewan, limbah domestik, sampah atau limbah biodegradable dalam kondisi anaerobik. Kandungan utama dalam biogas adalah metana dan karbon dioksida. Biogas dapat digunakan sebagai bahan bakar kendaraan maupun untuk menghasilkan listrik. Metana yang terkandung  di dalam biogas, bila terbakar akan relatif lebih bersih daripada batu bara, dan menghasilkan energi yang lebih besar dengan emisi karbon dioksida yang lebih sedikit. Pemanfaatan biogas memegang peranan penting dalam manajemen limbah karena metana merupakan gas rumah kaca yang lebih berbahaya dalam pemanasan global bila dibandingkan dengan karbon dioksida. Saat ini, banyak negara maju mulai meningkatkan penggunaan biogas yang dihasilkan baik dari limbah cair, padat atau yang dihasilkan dari sistem pengolahan limbah. Komposisi gas di dalam biogas yang dihasilkan bervariasi tergantung dengan asal proses anaerobik yang terjadi. Rata-rata biogas memiliki konsentrasi metana sekitar 50%, sedangkan sistem pengolahan limbah modern dapat menghasilkan biogas dengan kadar metana berkisar dari 55-75%.

Biofuel dalam waktu dekat mungkin tidak dapat menggantikan sepenuhnya energi fosil, Namun biofuel tetap akan menjadi sumber energi alternatif yang sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Pengembangan biofuel melalui penggunaan produk samping industri pertanian atau sampah menjadi energi melalui pembakaran langsung atau dikonversi menjadi biofuel tidak saja menyediakan energi alternatif terbarukan  namun juga dapat membuka lapangan kerja baru.

KELUARGA MANDIRI ENERGI

Sosial EnergyUncategorized Monday, 5 December 2011

COMMUNITY EMPOWERMENT (CE)

MELALUI PERINTISAN KELUARGA MANDIRI ENERGI (KME)

BERBASIS BIOFUEL

 

 

 

 

Karna Wijaya (Manager Biofuel, Energi Hidrogen dan Material, Pusat Studi Energi UGM)

 Pendekatan Community Empowerment (CE)

Energi mempunyai  peran yang sangat strategis dan krusial bagi pembangunan nasional. Energi dibutuhkan dalam kegiatan sektor industri, transportasi, jasa dan rumah tangga. Walaupun saat ini Indonesia tergolong salah satu negara penghasil minyak bumi dan gas, akan tetapi tersedianya cadangan minyak bumi yang tidak sebanding lagi dengan kebutuhan BBM nasional, penggunaan BBM secara berlebihan yang berdampak negatif kepada lingkungan dan penghapusan subsidi secara bertahap jika tidak diatasi dapat mengakibatkan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Olah sebab itu, pemanfaatan sumber-sumber energi baru yang terbarukan (EBT) serta ramah lingkungan menjadi suatu keharusan. Beberapa jenis EBT yang menjanjikan  adalah biofuel seperti biodiesel, bioetanol dan biogas. Biofuel memiliki peluang yang besar dalam pengembangannya karena teknologi pembuatan dan pemanfaatnya relatif mudah dan murah. Secara umum pemanfaatan energi biofuel memiliki banyak keuntungan, seperti mengurangi efek gas rumah kaca, mengurangi bau yang tidak sedap yang berasal dari kandang ternak atau sampah organik, mencegah penyebaran penyakit berbahaya, menghasilkan energi ramah lingkungan serta pupuk padat dan cair. Biofuel dapat diperoleh dari sampah buah, kotoran dari ayam, sapi, babi, manusia, air limbah rumah tangga, sampah organik dari pasar, industri pangan dan sebagainya.

Menilik potensinya yang begitu besar maka pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, khususnya masyarakat petani dan peternak di pedesaan untuk membuat dan memanfaatkan biofuel sehingga mandiri secara energi merupakan tantangan yang menarik. Salah satu bentuk kemandirian atau otonomi di bidang energi adalah terwujudnya desa mandiri energi (DME) atau keluarga mandiri energi (KME). Keluarga Mandiri Energi (KME) adalah keluarga yang mampu mencukupi kebutuhan akan energinya sendiri minimal 60% dari kebutuhan totalnya. Konsep ini murni dicetuskan oleh PSE UGM dan diadopsi dari konsep Desa Mandiri Energi (DME) yang diluncurkan oleh pemerintah beberapa tahun yang lalu. Jika dalam DME desa merupakan lembaga basis yang mengembangkan dan menghasilkan energi secara mandiri, maka pada KME keluarga adalah sebagai basis terkecil pembuat sekaligus pengelola dan pengguna energi. Energi yang dihasilkan dan digunakan bisa beraneka ragam, baik energi terbarukan maupun tidak terbarukan (EBT), yang penting mereka dapat secara independen memproduksi energi tersebut namun di antara berbagai sumber energi yang tersedia di Indonesia, bioenergi seperti biogas, bioetanol dan biodiesel merupakan sumber energi yang relatif mudah dan murah dibuat sehingga masyarakat akan mampu mengembangkannya sendiri dalam sekala UMKM/home industry.

Pemberdayaan masyarakat atau pemberdayaan komunitas (Community Empowerment) atau disingkat dengan CE. adalah sebuah proses pembangunan jejaring interaksi dalam rangka meningkatkan kapasitas dari sebuah komunitas, mendukung pembangunan berkelanjutan, dan pengembangan kualitas hidup masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dapat diartikan pula sebagai upaya peningkatan kemampuan atau kapasitas masyarakat agar dapat mendayagunakan sumber daya yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan, martabat, dan keberdayaan yang dilakukan dalam bentuk-bentuk :

 

a. Penguatan lembaga masyarakat

b. Peningkatan partisipasi masyarakat

c. Pembangunan perdesaan secara berkelanjutan

d. Penguatan usaha kecil dan menegah

e. Pengembangan prasarana berbasis masyarakat

CE tidak bertujuan untuk melayani masyarakat, mencari dan menetapkan solusi, Konsep CE adalah bekerja bersama-sama dengan masyarakat sehingga mereka dapat mendefinisikan dan menangani masalahnya sendiri, serta terbuka untuk menyatakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu dalam implementasinya dibutuhkan pendekatan yang tepat. Pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari sudut pandang Deficit Based dan Strength Based. Pendekatan Deficit-Based menitik beratkan pada mengangkat berbagai macam permasalahan yang ada di komunitas serta upaya mencari penyelesainnya. Keberhasilan pendekatan ini sangat tergantung pada adanya identifikasi dan diagnosis yang jelas terhadap masalah, penyelesaian cara pemecahan yang tepat, serta penerapan cara pemecahan tersebut.  Sementara pendekatan Strengh Based melalui metode Appreciative Inquiry berbasis pada kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh komunitas atau individu. Metode Appreciative Inquiry merupakan sebuah metode yang mentransformasikan kapasitas individu atau komunitas untuk perubahan yang positif dengan memfokuskan pada pengalaman positif dan masa depan yang penuh harapan. Metode ini terbukti dapat mengubah budaya sebuah komunitas untuk melakukan pembaharuan dan memberdayakan komunitas pedesaan. Dari sisi sosial pemberdayaan masyarakat untuk memanfaatkan biofuel sebagai sumber EBT sebaiknya dilakukan melalui pendekatan yang terakhir

 

Strategi Perintisan KME

Model pengembangan keluarga mandiri energi (KME) berbasis biofuel dilakukan di beberapa desa sasaran. Model KME yang dikembangkan menitikberatkan pada rekayasa sosial yaitu pemberdayaan masyarakat untuk membangun kemandirian masyarakat guna mengurangi ketergantungan akan BBM.

Pelaksanaan pengembangan KME didasarkan didasarkan kepada appreciative inquiry dan participatory based action research. Metode tersebut merupakan proses kolaborasi antara peneliti di perguruan tinggi, dalam hal ini Pusat Studi Energi dan masyarakat peternak dan petani di desa sasaran dengan tujuan untuk mengintegrasikan pengetahuan praktis yang dimiliki oleh masyarakat dengan teknologi yang akan diterapkan dari PSE. Metode ini bersifat konsultatif, kolaboratif dan collegiatif. Implementasi metode adalah sebagai berikut :

  1. 1.    Pemilihan Sasaran KME

Sasaran KME berada pada level dusun yang didalamnya terdiri atas beberapa keluarga.  Sasaran KME ditentukan melalui pertimbangan : Merupakan basis peternakan sapi, perkebunan ubi kayu, jambu mete atau kelapa, limbah peternakan secara nyata belum dipergunakan oleh masyarakat, dan limbah peternakan serta peternakan berpotensi menjadi sumber konflik antara masyarakat peternak-petani dan masyarakat non peternak dan petani. Pemilihan calon KME menghasilkan beberapa alternatif keluarga yang akan dijadikan KME. Tahapan selanjutnya adalah melakukan identifikasi tipologi daerah sasaran. Berdasarkan tipologi akan dihasilkan satu desa atau dusun yang dijadikan tahapan inisiasi penerapan model ini.

2. Diseminasi informasi  dan Sosialisasi

Diseminasi informasi dan sosialisasi teknologi pengolahan minyak kelapa, jambu mete, singkong dan limbah peternakan dilakukan melalui FGD (Forum Group Discussion) yang diikuti oleh tokoh-tokoh masyarakat dan calon KME. Tujuan FGG ini adalah untuk menyamakan persepsi mengenai teknologi dan kendala yang mungkin muncul selama implementasinya..

 

3. Inkubasi: Pelatihan dan Pendampingan

Pembangunan demplot akan memunculkan berbagai respon dari masyarakat. Respon ini menjadi dasar untuk menguatkan kelembagaan KME. Fungsi kelembagaan KME yang dibentuk tidak saja berkaitan dengan aspek-aspek pemasangan instalasi bioetanol, biodiesel dan biogas, namun juga diarahkan untuk mengakomodasi keinginan masyarakat yang berkeinginan untuk memanfaatkan energi berbasis biofuel.

4. Monitoring dan Evaluasi. 

Setiap beberapa bulan masing-masing KME dievaluasi dan di monitor. Hasil-hasil temuan pada saat MONEV kemudian dianalisis.  Hasil analisis secara deskriptif dan kuantitatif itu dipakai sebagai bahan untuk pengambilan keputusan, mengatasi permasalahan yang muncul dilapangan dan dipergunakan untuk memperbaiki model KME itu sendiri

BIOETANOL SEBAGAI BBN

PenelitianUncategorized Monday, 14 November 2011

PROSPEK DAN STRATEGI PENGGUNAAN BIOETANOL SEBAGAI BBN

DI INDONESIA

 

(Karna Wijaya, Manajer Biofuel, Katalis dan Hidrogen, PSE-UGM)

Riset tentang kemungkinan pemanfaatan bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati di Indonesia  sebenarnya sudah dilakukan sejak lama, namun pemakaiannya sebagai bahan bakar masih jauh dari harapan kita semua. Walaupun himbauan pemerintah kepada pemakai kendaraan pribadi untuk menggunakan bensin pertamax namun pemilik kendaraan di Indonesia saat ini masih senang menikmati BBM bersubsidi karena harganya yang relatif murah dan terjangkau semua kalangan mulai dari kalangan atas sampai kalangan menengah ke bawah. Namun dengan naiknya harga BBM dari waktu ke waktu maka secara signifikan perbedaan harga BBM dan BBN bioetanol di masa-masa mendatang akan semakin tipis. Harga premium bersubsidi saat ini sekitar Rp.4500,-/liter lebih rendah dari harga bioetanol yang mencapai Rp. 8000,-/liter atau hampir 2 kali lipat harga bensin premium. Dengan harga seperti itu sudah pasti PT.Pertamina akan merugi jika tetap memaksakan diri menjual bioetanol sebagai biopremium dengan harga Rp.4500,-/liter. Persoalan pemakaian bioetanol atau etanol sebagai substitusi BBM juga terkendala pasokan bioetanol dan atau etanol pertahun yang relatif masih rendah. Saat ini konsumsi bensin premium perbulan mencapai 1,5 juta kiloliter sedangkan pasokan etanol perbulan di Indonesia kira-kira hanya mencapai 500 kiloliter perbulan.

Sebenarnya kalau kita kaji, Indonesia sangat berprospek mengembangkan bioetanol sendiri. Pertama, bahan baku berupa tanaman berpati dan bergula tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia begitu pula sumber lignoselulosa (Tabel 1).

Tabel 1. Rencana Startegis Pengembangan Bioetanol di Indonesia

berbahan baku tebu dan ubi kayu

 

Uraian 2006 2007 2008 2009 2010
Tebu :

Luas (juta hektar)

Volume (juta kiloliter/tahun

10

–

30

0,19

200

1,25

250

1,56

750

4,56

Ubi Kayu :

Luas (juta hektar)

Volume (juta kiloliter/tahun

100

–

100

0,042

400

1,70

700

2,98

1500

6,77

 

Sumber data: Rama Prihandana dan Roy Hendroko,dkk, Bioetanol Ubi

Kayu, 2007,hlm 57. (dikutip dari Gan Thay Kong, Peran

Biomassa bagi Energi Terbarukan, 2002,jlm.12).

 

Dengan kata lain soal ketersediaan bahan baku bioetanol yang berkelanjutan bukan merupakan masalah lagi. Kedua, sumber daya manusia yang berpotensi dan kompeten untuk mengembangkan bioetanol juga tersedia baik  di perguruan-perguruan tinggi, lembaga-lembaga penelitian, UMKM maupun industri. Ketiga, biaya pembuatan pabrik dan production cost bioetanol relatif murah. Jadi mengapa program substitusi BBM dengan bioetanol di Indonesia tersendat? Bagaimana upaya yang harus kita lakukan untuk melancarkan program itu?

Untuk menjawab dan mengatasi persoalaan tersebut diperlukan langkah-langkah atau strategi jitu dari pemerintah antara lain dengan mewajikan sektor transportasi PSO (Public Service Obligation) dan non PSO, industri dan pembangkit tenaga listrik secara bertahap menggunakan BBN dengan persentase tertentu (Mandatori BBN), mendirikan pabrik bioetanol secara ekstensif, mengatur tata niaga bioetanol, membuat road map pengembangan energi bioetanol yang jelas dan meningkatkan penelitian praktis penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar kendaran dan mesin, terutama pembuatan bioetanol generasi kedua, sosialisasi BBN bioetanol ke masyarakat, pemberdayaan masyarakat untuk mengembankan bioetanol secara mandiri (pembangunan Desa Mandiri Energi), subsidi BBN bioetanol dan pengawasan impor bioetanol serta membudidayakan tanaman penghasil bioetanol yang tidak mengganggu keamanan pangan (non edible)

Strategi pertama berupa Mandatori BBN praktis telah ditandatangani oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro dan telah dinyatakan berlaku efektif sejak januari 2009. Mandatori ini mengatur penggunaan BBN secara bertahap. Dengan mandatori tersebut diharapkan pada tahun 2025 penggunaan bioetanol akan mencapai 15% dari kebutuhan total bahan bakar Indonesia.

Agar pasokan bioetanol terjamin maka dibutuhkan pabrik-pabrik bioetanol yang dapat mencukupi kebutuhan bioetanol nasional yang dikuti dengan tata niaga bioetanol yang transparan,jelas serta dilaksanakan secara bertahap. Tata niaga dapat dimulai dari pengadaan bahan baku, pengolahan bahan baku menjadi bioetanol dan pemasaran bioetanol. Tata niaga bioetanol seyogyanya difasilitasi oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga terkait.

Penelitian penggunaan bioetanol generasi pertama memilik banyak kelemahan antara lain sumber bioetanol yang dipakai  bergesekan dengan  sumber pangan, misalnya jagung, sorgum dan tebu. Generasi kedua bioetanol mensyaratkan pemakaian bahan baku yang berasal dari biomassa non edible, seperti jerami, tongkol jagung, serbuk gergaji dan sebagainya. Namun riset tentang bioetanol generasi kedua khususnya di Indonesia masih kurang berkembang. Di Amerika riset tentang bioetanol generasi kedua, misalnya bioetanol selulosik sudah mendekati scale up ke industri. Pada tahun 2011 Amerika berencana membangun pabrik bioetanol selulosik dengan kapasitas 50-100 juta gallon.

Agar pengembangan energi bioetanol di Indonesia lebih terarah maka diperlukan road map sektor energi bioetanol. Pembuatan road map adalah tugas lembaga pemerintah yang bekompeten, misalnya Kementerian Riset dan Energi dibantu para pakar dari perguruan tinggi, dan lembaga atau institusi terkait.

Betapapun bagusnya program pemerintah jika tidak diikuti sosialisasi dan implementasi ke masyarakat maka  program tersebut menjadi tumpul. Saat ini pemahaman masyarakat tentang bioetanol sebagai BBN dirasa relatif masih rendah, sehingga pemasyarakatan bioetanol menjadi kurang optimal. Sosialisasi berkelanjutan melalui kuliah kerja nyata mahasiswa dan lewat bebagai media utamanya televisi dan surat kabar perlu ditingkatkan. Pembangunan Desa mandiri Energi (DME) merupakan strategi pemerintah untuk membangun ketahanan energi melalui masyarakat pedesaan. Jika masyarakat desa dapat memenuhi sendiri kebutuhan akan energinya sendiri, minimal 60% maka desa tersebut dikatakan telah mandiri energi. DME diharapkan dapat menjadi solusi signifikan untuk mengatasi kebutuhan energi bangsa. Pembangunan DME masih terus berjalan sejak tahun 2009 dan saat ini telah mencapai 1000 DME tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai contoh sukses pembangunan DME adalah  Kabupaten Minahasa Selatan. Masyarakat lokal telah berhasil mengembangkan home industry bioetanol dari nira. Melalui industri rumahan ini mereka mampu menghasilkan 1 liter bioetanol per pohon nira perhari. Bioetanol ini kemudian mereka gunakan untuk kendaraan pemerintah setempat. Program DME ini akan lebih berhasil apabila didukung dan melibatkan berbagai instansi pemerintah, LSM dan perguruan tinggi.

Kenaikan harga tetes tebu sebagai bahan baku bioetanol yang mencapai 100% (USD 65/ton pada tahun 2008 menjadi USD 125-130/ton pada tahun 2009) dan kemungkinan dibukanya kran impor bioetanol dari Brazilia berpotensi menghancurkan industri bioetanol di Indonesia. Pemberian subsidi (seandainya layak secara ekonomi) kepada BBN bioetanol dalam negeri seperti halnya BBM dan pembatasan impor bioetanol diharapkan mampu mempertahankan industri bioetanol yang sudah ada saat ini.

Bahan baku bioetanol di tiap daerah atau Negara sangat tergantung kepada sumber daya alam nabatinya. Di Indonesia sumber bioetanol sangat berlimpah, sebut saja tebu, jagung,singkong, buah-buahan, nira dan sebagainya. Dalam program pengadaan BBN Nasional tidak semua tanaman tersebut layak secara ekonomi untuk digunakan sebagai bahan baku bioetanol. Pemerintah dan rakyat sebaiknya lebih fokus hanya kepada tanaman yang mudah dibudidayakan saja.

Pusat Studi Energi UGM Kembangkan INSCITRON

Uncategorized Thursday, 13 January 2011

Bagi operator industri yang baru, tidaklah mungkin jika langsung diberi kepercayaan untuk mengoperasikan jalannya pabrik kimia. Ibarat seorang calon pilot sebelum menjalankan pesawat tentunya berlatih dahulu mengoperasikan pesawat didepan komputer dengan flight simulator. Demikian pula operator baru perlu berlatih mengoperasikan pabrik kimia didepan komputer dengan simulator yang di industri dikenal dengan operator training simulator (OTS).

Prof. Arief Budiman, D.Eng, , peneliti dan koordinator pengembangan software Pusat Studi Energi (PSE) UGM memaparkan bahwa dengan OTS seorang operator sebagai peserta pelatihan dapat belajar bagaimana mengoperasikan unit operasi pada berbagai kondisi operasi di pabrik, yang meliputi kondisi normal, start-up, shutdown, emergency, dan malfunction. Unit operasi disini bisa berupa suatu unit proses dalam sebuah kilang minyak, pabrik petrokimia atau bisa juga berupa power plant. “OTS dilengkapi dengan fitur-fitur yang sama seperti yang terdapat pada control panel yang ada di control room suatu industri kimia, sehingga memudahkan instruktur untuk memberikan pelatihan dan penilaian kepada operator. OTS juga dilengkapi dengan fitur interlock yang bertujuan untuk mengamankan operasi”, terangnya Jum’at (9/7) di PSE UGM.

Gama Kreasindo yang merupakan tim pengembangan software industri PSE UGM telah berhasil melakukan invensi OTS yang diberi nama INSCITRON yang sistematikanya terdiri dari main server dan data base server yang berfungsi untuk menghitung dan menyimpan data. “Tampilan INSCITRON sama seperti fitur-fitur yang ada pada layar human machine interface DCS (distributed control system) pada pabrik kimia”, jelas Arief Budiman.

Ditambahkan oleh manager operasional Gama Kreasindo, Ardhi Wicaksono, bahwa model proses INSCITRON menggunakan prinsip chemical engineering tools, sehingga model yang dihasilkan merupakan model dinamis. Model proses yang banyak digunakan pada OTS yang dipakai di industri kebanyakan menggunakan model historian. ”Data yang diperoleh dari operasi pabrik diolah dan selanjutnya dibuatkan rumus empiris sebagai suatu black box, sehingga terkadang dimungkinkan menghasilkan suatu data yang kontradiktif dengan kaidah ilmiah yang ada”, kata Ardhi.

Secara umum INSCITRON terdiri dari empat bagian, yaitu process model, yang merupakan perangkat utama yang menjalankan algoritma pemodelan unit proses baik pada kondisi transient, steady state maupun kondisi dinamis (start-up, shutdown dan malfunction). Disamping itu terdapat pengendali aktivitas operasional atau instructor station (IS) yang berfungsi sebagai instruktur simulasi proses. Bagian lain dikenal emulated operator station (EOS) yang berfungsi untuk mengemulasikan operator station dari DCS. Sedangkan bagian terakhir adalah field operator station (FOS), yang bertindak untuk merepresentasikan fungsi operator lapangan. “Dengan keempat bagian tersebut, seorang operator yang menjadi peserta pelatihan akan terasa seperti sedang menjalankan pabrik kimia, karena fenomena operasi yang tampil pada layar komputer sama seperti yang terjadi di lapangan”, jelasnya.

Sementara itu Kepala PSE UGM, Prof. Dr. Jumina, menambahkan bahwa INSCITRON tidak hanya dapat dipakai oleh operator industri, tetapi juga dapat digunakan oleh process engineer untuk melakukan audit proses, optimasi proses dan audit energi. Perubahan spesifikasi produk dari pabrik kimia juga dapat dipelajari dengan INSCITRON seandainya terjadi perubahan spesifikasi bahan baku.

“Kelebihan lain yang dimiliki INSCITRON adalah layanan purna jual yang terjamin karena tim Gama Kreasindo PSE UGM siap melakukan modifikasi simulator seandainya di pabrik kimia dilakukan modifikasi proses.INSCITRON dapat dinikmati dalam stan PSE UGM pada kegiatan UGM Research

Week yang digelar di Grha Sabha Pramana (GSP), 12-17 Juli 2010,” imbuhnya

Pengembangan Perlu Terobosan Kebijakan

NewsRenewable Energy Thursday, 13 January 2011

Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) mengatakan, pemerintah harus melakukan terobosan kebijakan yang lebih menarik untuk investasi energi baru dan terbarukan (EBT).

“Jaminan limpahan sumber daya energi baru dan terbarukan tidak cukup. Perlu terobosan kebijakan untuk menarik investasi dan investor guna pengembangannya, ” kata Ketua Umum METI Hilmi Panigoro usai paparan tentang World Renewable Energy and Energy Efficiency Conference (WREEEC) 2011 di Jakarta, Senin (20/12).Menurut dia, kebijakan baru itu khususnya menyangkut harga dan kewajiban pasok (mandatory). Sebab, tahun 2011 menjadi momentum untuk dikeluarkannya kebijakan baru yang menarik untuk investasi EBT.Berdasarkan data International Energy Agency, total investasi energi baru dan terbarukan dunia mencapai 140 miliar dolar AS, namun baru 1 persennya yang diambil Indonesia.Pada kesempatan yang sama, Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luluk Sumiarso mengatakan, pemerintah tengah menyiapkan regulasi sebagai payung hukum pengembangan EBT.Pemerintah berjanji, Undang-Undang (UU) Penggunaan Energi Baru dan Terbarukan akan rampung pada 2011. Saat ini banyak energi baru yang masih belum dioptimalkan penggunaannya.Misalnya Indonesia memiliki potensi panas bumi sekitar 28.000 megawatt (MW), namun yang baru terpakai sekitar 1.200 MW. Begitu juga dengan energi air yang memiliki potensi 78.000 MW, tapi baru terpakai di bawah 10 persen.Pasar GlobalDi tempat terpisah, pengamat hubungan internasional Muhadi Sugiono dan peneliti Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Sudiartono mengatakan, pemerintah perlu memaksimalkan diplomasi politik luar negeri dalam kompetisi percaturan pasar energi dunia. Ini dimaksudkan untuk mengamankan pasokan dan kebutuhan energi nasional.Apalagi mengingat negara-negara besar dunia, seperti India, China, Jepang, dan Korea Selatan, terus mengamankan kebutuhan energi dengan mendapatkan akses selain dari Timur Tengah. “Ketergantungan setiap negara dunia semakin tinggi terhadap sumber energi,” katanya.Dia mengatakan, China sebagai salah satu negara yang menyumbang 12 persen total konsumsi energi di dunia, kini mengembangkan pasar impor di luar negeri. Ini dilakukan dengan mendukung perusahaannya melakukan eksploitasi di luar negeri, yakni di Asia Tengah dan Rusia, Timur Tengah, dan Afrika Utara serta Amerika Latin. Sementara Jepang dan Korea Selatan kini mencari alternatif sumber energi selain Timur Tengah, yakni Siberia Timur.Sedangkan Sudiartono menilai, China dan India saat ini sangat agresif untuk mengamankan cadangan energi minyak mereka untuk melindungi perusahaan nasionalnya.Namun, pemanfaatan energi di China sepenuhnya dimanfaatkan untuk memproduksi barang dan jasa yang menghasilkan devisa negara. Berbeda dengan Indonesia, lemahnya penguasaan teknologi menyebabkan pemanfaatan energi hanya memenuhi kebutuhan konsumtif.

PSE Lakukan Penelitian Ketahanan Energi Asia Pasifik

Sosial Energy Tuesday, 11 January 2011

Kerja sama Pusat Studi Energi (PSE) UGM dengan Departemen Luar Negeri RI Bidang Ketahanan Energi (Energy Security) menjadi salah satu isu penting di Asia Pasifik. Isu tersebut sangat dinamis ditandai dengan tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi di kawasan ini. Dengan tingginya pertumbuhan itu, Asia Pasifik tampaknya sangat bergantung pada pasokan energi, terutama minyak dan gas. Ketergantungan diduga akan terus berlanjut seiring dengan pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut.

Terbuka, Pengembangan Energi Surya

Renewable Energy Tuesday, 11 January 2011

YOGYAKARTA-Pengembangan energi surya di Indonesia masih terbuka. Namun sayang, pemerintah seakan-akan tidak memiliki keinginan kuat untuk mengembangkan potensi energi tenaga surya khususnya menjadi energi listrik. Padahal, jika dikembangkan secara optimal, energi surya dapat menjadi salah satu solusi atas berkurangnya pasokan energi listrik PLN. “Yang cukup terbuka dikembangkan adalah pengembangan energi surya. Sayangnya, pemerintah terlihat belum kuat keinginannya untuk mengembangkan,” tutur peneliti yang juga Wakil Kepala Pusat Studi Energi (PSE) UGM, Dr. Sudihartono, Kamis (1/7).

PSE : Bioetanol dari CO2

Renewable Energy Tuesday, 11 January 2011

Liputan Berita Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (PSE UGM) bekerjasama dengan Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DP2M DIKTI), Kementerian Pendidikan Nasional RI melalui program Hibah Kompetitif Penelitian Strategis Nasional melakukan riset pengembangan teknologi untuk memproduksi bioetanol dan bioalkohol dari gas karbon dioksida (CO2). Kerjasama penelitian bersifat multi tahun, dimulai pada tanggal 15 Juli 2010 dan akan berakhir pada tanggal 30 November 2011. Prof. Drs. Jumina, Ph.D., Kepala PSE UGM, mengatakan riset ini ditujukan untuk mengembangkan teknologi yang efisien guna mengkonversi karbon dioksida menjadi metanol, etanol, isopropanol, dan t-butanol juga dikenal sebagai bioalkohol generasi ke-2.

1…678

Pusat Studi Energi
Sekip Blok K1.A Kampus Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta - Indonesia
Tel/Fax: +62-0274-549429 | e-mail : pse@ugm.ac.id

Universitas Gadjah Mada

Pusat Studi Energi

Universitas Gadjah Mada

Sekip Blok K1-A Yogyakarta 55281

pse@ugm.ac.id
 +62 (274) 549429
 +62 (274) 549429

Pusat Studi Energi

  • Home
  • Tentang PSE
    • Pengantar
    • Visi dan Misi
    • Kegiatan
    • Kerjasama
    • Personalia
  • Program Kerja
  • Jasa
    • Jasa Survei Geofisika untuk Eksplorasi Air Tanah
    • Jasa Survei Geofisika untuk Geoteknik
    • Jasa Audit Energi
  • PENELITIAN
  • Pelatihan
  • Kontak

© Pusat Studi Energi - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY