• UGM
  • IT Center
  • Library
  • Research
  • Webmail
Universitas Gadjah Mada Pusat Studi Energi
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • Tentang PSE
    • Pengantar
    • Visi dan Misi
    • Kegiatan
    • Kerjasama
    • Personalia
  • Program Kerja
  • Jasa
    • Jasa Survei Geofisika untuk Eksplorasi Air Tanah
    • Jasa Survei Geofisika untuk Geoteknik
    • Jasa Audit Energi
  • PENELITIAN
  • Pelatihan
  • Kontak
  • Beranda
  • News
  • Hukum dan Kebijakan
Arsip:

Hukum dan Kebijakan

UGM Kenalkan Teknologi Desalinasi Tenaga Surya Atasi Kelangkaan Air Bersih di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Climate ChangeHukum dan KebijakanNewsRenewable Energy Saturday, 25 May 2024

Universitas Gadjah Mada (UGM), diwakili oleh peneliti Pusat Studi Energi (PSE), Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) , Fakultas Teknik dan Fakultas Geografi bekerja sama dengan Artha Graha Peduli (AGP) dan Forum Peduli Mangrove Bali (FPM-B) menggelar workshop Side Event World Water Forum (WWF) ke-10 yang bertajuk “Water-Energy Nexus, Achieving SDGs” di Telaga Waja, di Tanjung Benoa Mangrove Rehabilitation Area, Bali, Kamis (23/5).

Kegiatan ini diikuti oleh peserta 6 negara diantaranya dari Pakistan, Nigeria, Malaysia, Filipina, Slovakia, Indonesia. Dalam workshop tersebut menghadirkan tiga orang pembicara yakni peneliti Pusat Studi Energi (PSE) UGM, Dr. Rachmawan Budiarto, Peneliti Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) dan Fakultas Geografi UGM, Dr. Lintang Nur Fadlillah, M.Sc., Ir. Novias Nurendra selaku Senior Advisor PT Hutama Karya dan Ir. Nyoman Sweet Juniartini dari Forum Peduli Mangrove-Bali yang dipandu oleh Dr. Intan Supraba dosen Fakultas Teknik UGM.

Lintang mengatakan cakupan layanan air minum di Indonesia sekarang ini telah mencapai 91,05% dan akses terhadap sanitasi telah meningkat sebesar 80,92%, namun masih banyak daerah terpencil di Indonesia khususnya wilayah pesisir masih memiliki keterbatasan akses terhadap air bersih dan air minum.

“Pulau-pulau kecil seringkali menghadapi tantangan penyediaan air bersih dan air minum,” ungkap peneliti Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Gadjah Mada, Dr. Lintang Nur Fadlillah.

Rachmawan Budiarto mengenalkan teknologi desalinasi air dengan tenaga solar panel atau dikenal dengan nama Photovoltaics Sea Water Reverse Osmosis (PV-SWRO). Menurutnya, konsep desalinasi merupakan pilihan yang makin perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan air minum karena fitur teknologinya. “Kombinasi teknologi SWRO dan produksi energi menggunakan teknologi bertenaga surya saat ini telah tersedia di pasar untuk diterapkan di wilayah pesisir,“ terangnya.

Penggunaan teknologi PV-SWRO ini akan diterapkan di pulau-pulau melalui SALT Project dengan gagasan penyelarasan Water-Energy Nexus. Menurut Dosen Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika, Fakultas Teknik UGM ide dari proyek ini adalah memasok air minum dengan jumlah yang cukup dan kualitas air baik, dengan didukung oleh energi terbarukan dan dengan harga terjangkau. “Proyek ini juga menekankan pendekatan transdisiplin dalam menawarkan solusi,” katanya.

Dikatakan Rachmawan, pelaksanaan proyek ini bertujuan untuk menerapkan teknologi PV-SWRO ke pulau-pulau terpencil terpilih di Indonesia, memastikan keberlanjutan operasional dan finansial proyek, serta akan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

Workshop yang dihadiri puluhan peserta dari enam negara ini diharapkan dapat menghasilkan gagasan baru dari para pegiat muda Indonesia dan luar negeri dalam penyelesaian permasalahan air terutama di pulau kecil dan wilayah kering lainnya. Workshop ini juga berupaya untuk memperkuat dan meluaskan kolaborasi internasional.

Workshop ini dihadiri oleh Bapak I Ketut Subandi selaku Kepala UPTD Tahura Bali dan ditinjau oleh Duta Besar Indonesia untuk UNESCO. Pemilihan lokasi workshop di area mangrove untuk memberikan pesan kepada peserta tentang pentingnya mangrove sebagai coastal protection, mengurangi seawater intrusion, meningkatkan kualitas air yang mana mangrove mampu menyerap nutrisi seperti nitrogen dan phospat penyebab algae bloom termasuk sedimen, dan juga mitigasi perubahan iklim.

Penulis: Gusti Grehenson

Mengkritisi Just Transition Framework Indonesia: Menjamin Keadilan Dalam Transisi Energi

Hukum dan KebijakanHukum EnergiNews Tuesday, 6 February 2024

Oleh : Dr. Irine Handika, S.H., LL.M., Dr. Mailinda Eka Yuniza, S.H., LL.M., Stephanie Kristina Susanto, S.H., Kenley Wijaya. (Peneliti Pusat Studi Energi, Universitas Gadjah Mada)

 

Pendahuluan

Dalam upaya menanggulangi perubahan iklim, Indonesia telah meneguhkan komitmennya untuk melakukan transisi energi. Untuk mendukung langkah ini, melalui pertemuan G20, Indonesia berhasil mendapatkan komitmen dana sebesar 20 Miliar Dolar AS dari berbagai negara yang tergabung dalam Just Energy Transition Partnerships (JETP).

Salah satu hal yang membedakan JETP dibandingkan transisi energi pada umumnya adalah penekanannya pada konsep “just” atau keadilan. Just Energy Transition (JET) tidak hanya berfokus pada kecepatan transisi energi, tetapi juga pada bagaimana transisi tersebut dapat terwujud secara adil bagi semua pihak.

Dalam mewujudkan konsep JET, Sekretariat JETP telah membentuk Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP). Salah satu muatan penting dari dokumen CIPP ini adalah Framework/kerangka JET Indonesia, yang akan menjadi panduan utama dalam mengimplementasikan JETP.

Kerangka Just Energy Transition Indonesia dan Kelemahannya

Kerangka JET dalam CIPP memuat tiga lapisan:

  1. pondasi dasar, yang terdiri dari 3 hal yaitu Hak Asasi Manusia, Kesetaraan & Pemberdayaan Gender, serta Akuntabilitas
  2. Pilar, yang terdiri dari 2 hal yaitu Tidak Ada yang Ditinggalkan/Left No One Behind serta Keberlanjutan dan Ketahanan.
  3. Standar transisi berkeadilan yang meliputi 9 standar yakni:
  4. warisan budaya;
  5. pemindahan dan pemukiman kembali;
  6. masyarakat setempat dan adat;
  7. Tenaga Kerja dan kondisi kerja;
  8. keanekaragaman hayati dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan;
  9. perubahan iklim dan risiko bencana;
  10. kesehatan keamanan dan keselamatan masyarakat;
  11. pencegahan polusi dan efisiensi sumber daya;
  12. diversifikasi dan transformasi ekonomi.

Mengingat peran penting kerangka JET yang dimuat dalam CIPP tersebut, penting dilakukan evaluasi kembali terhadap kerangka yang telah dibuat untuk memastikan kerangka tersebut dapat menjadi pedoman yang efektif bagi pelaksanaan JETP di Indonesia. Masih terdapat beberapa kelemahan dalam formulasi kerangka JET yang tercantum dalam CIPP saat ini.

Pertama, hubungan antar lapisan kerangka tidak jelas dan membingungkan. Tidak ada gambaran jelas mengenai bagaimana satu lapisan berinteraksi dan mempengaruhi lapisan lainnya. Bahkan tidak ada kejelasan mengenai dibutuhkan pemisahan menjadi ketiga lapisan tersebut. Untuk mengilustrasikan ketidakjelasan ini, bayangkan jika kita memindahkan Pondasi dasar kesetaraan gender dan pemberdayaan menjadi salah satu dari sembilan standar. Pemindahan tersebut tidak akan menimbulkan perbedaan signifikan dalam implementasi prinsip kesetaraan gender tersebut dalam konteks transisi yang adil. Jika tidak ada perbedaannya, lalu apa fungsi dari pemisahan lapisan tersebut? Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan komplikasi selama implementasi transisi yang adil, menyebabkan kebingungan tentang prinsip-prinsip mana yang seharusnya diprioritaskan.

Bandingkan kerangka JET Indonesia tersebut dengan kerangka Just Transition yang dirumuskan oleh International Labour Organization (ILO). Kerangka JET dari ILO terdiri dari tujuh prinsip yang mudah dipahami dan diterapkan yakni:

  1. Konsensus sosial yang kuat (pengambilan keputusan bersama) terhadap tujuan dan proses menuju transisi yang adil adalah fundamental. Dialog harus menjadi bagian integral dari kerangka kebijakan dan implementasi di semua tingkat. Konsultasi yang memadai, terinformasi, dan berkelanjutan harus dilakukan dengan semua pemangku kepentingan yang relevan.
  2. Kebijakan harus menghormati, mempromosikan, dan mewujudkan hak-hak dasar di tempat kerja.
  3. Kebijakan dan program perlu mempertimbangkan aspek gender dari tantangan dan peluang transisi. Kebijakan gender khusus harus dipertimbangkan untuk mempromosikan hasil yang adil.
  4. Kebijakan yang mencakup semua aspek ekonomi, lingkungan, sosial, dan pendidikan/pelatihan harus menciptakan lingkungan yang memungkinkan perusahaan, pekerja, investor, dan konsumen untuk mendorong transisi menuju ekonomi dan masyarakat yang inklusif dan berkelanjutan.
  5. Kebijakan juga harus menyediakan kerangka transisi kerja yang adil untuk semua untuk mendorong penciptaan pekerjaan yang lebih layak.
  6. Tidak ada kerangka yang sesuai untuk semua (No one size fits all); kebijakan dan program perlu dirancang sesuai dengan kondisi khusus setiap negara, termasuk tahap pengembangan, sektor ekonomi, dan jenis serta ukuran perusahaan.
  7. Dalam menerapkan strategi pembangunan berkelanjutan, seharusnya terdapat kerjasama internasional antara negara-negara. Dalam konteks ini, hasil Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan (Rio+20) dapat dipertimbangkan.

 

Kedua, tidak diperhatikannya aspek transisi pekerja yang terdampak oleh transisi energi. Transisi energi yang pesat berpotensi menyebabkan hilangnya lapangan kerja di industri-industri lama tertentu yang di tinggalkan beserta seluruh rantai nilainya, termasuk hilangnya lapangan kerja secara langsung, tidak langsung, terinduksi, dan informal. Contohnya, Pemensiunan PLTU akan menyebabkan masyarakat yang bekerja di PLTU tersebut kehilangan pekerjaannya. tidak hanya orang yang bekerja secara langsung dalam PLTA tersebut, aktivitas ekonomi di sekitarnya yang menunjang PLTU tersebut transportasi lokal, akomodasi perumahan, dan tokoh-tokoh kecil juga akan ikut terdampak. Lebih lanjut, rantai perekonomian di hulu dan hilir seperti sektor pertambangan batu bara juga akan ikut terdampak sehingga berpotensi merugikan masyarakat yang mengandalkannya sebagai sumber mata pencaharian. Kondisi tersebut memaksa terjadinya transisi pekerja. Namun, melakukan transisi pekerjaan tidak semudah itu.

Belum tentu ada sektor lain yang siap untuk menerima ribuan pekerja yang baru saja di PHK. Bahkan jika ada sektor yang membutuhkan SDM tambahan, para pekerja yang baru saja di PHK belum tentu memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk terjun ke sektor baru yang membutuhkan tenaga kerja tersebut. Oleh karena itu, transisi berkeadilan memerlukan sebuah mekanisme untuk mengakomodasi kelompok pekerja tersebut dan menjamin bahwa mereka dapat melakukan transisi pekerjaan sehingga kesejahteraan mereka tetap terjaga. Namun, prinsip perlindungan transisi pekerja tersebut belum diakomodasi dalam standar JET dalam CIPP karena standar ke-4 tentang tenaga kerja dan kondisi kerja hanya memperhatikan supaya pekerja di sektor energi yang memang masih aktif bekerja mendapatkan hak-hak dasar mereka sebagai pekerja.

Ketiga, tidak ada standar yang secara eksplisit memberikan prioritas kepada aktor lokal/domestik untuk mendapatkan peluang dan perlindungan dibandingkan dengan pemangku kepentingan internasional. Standar ini penting karena adanya disparitas kekuatan antara aktor lokal/domestik dan internasional, yang mengancam kemampuan aktor lokal/domestik untuk mendapatkan manfaat dari transisi energi. Tidak adanya upaya khusus untuk memprioritaskan aktor lokal/domestik berpotensi menyebabkan sektor transisi energi di Indonesia didominasi oleh Pihak Asing.

Dampaknya, yang menerima manfaat paling besar dari transisi energi di sektor asing adalah pihak asing juga, bukan masyarakat Indonesia. Sehingga, perlu diperhatikan juga bahwa disini masyarakat Indonesia harus mendapatkan keadilan berupa manfaat yang signifikan dari transisi energi mengingat menurut konstitusi NKRI, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Permasalahan yang disebutkan di atas hanyalah tiga contoh kecil dari ketidaksempurnaan kerangka JET di Indonesia.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Berlatarbelakang dari kelemahan-kelemahan yang telah dipaparkan sebelumnya, terdapat tiga rekomendasi yang dapat diterapkan untuk memperbaiki kerangka JET Indonesia.

  1. Melakukan penyederhanaan kerangka JET Indonesia menjadi lebih mudah dipahami dan diimplementasikan seperti yang telah disusun oleh ILO.
  2. Menambahkan prinsip yang melindungi pekerja-pekerja yang kehilangan pekerjaannya akibat transisi energi serta menyediakan mekanisme transisi kerja bagi mereka.
  3. Menambahkan prinsip yang melindungi secara khusus dan memprioritaskan aktor-aktor lokal/domestik untuk bisa memainkan peran yang lebih aktif dan menjamin mereka mendapat manfaat dari transisi energi.

Selain itu, perlu di ingat bahwa masyarakat memiliki peran krusial dalam penyusunan konsep dasar dan kerangka transisi berkeadilan di Indonesia. Partisipasi masyarakat menjadi kunci untuk memastikan bahwa keadilan yang diinginkan dalam konteks transisi energi benar-benar dapat terwujud.  Keterlibatan dan masukan dari masyarakat lebih lanjut dibutuhkan untuk membantu mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu diperbaiki atau ditambahkan dalam definisi tersebut. Dengan demikian, konsep transisi berkeadilan dapat lebih akurat mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat dalam menghadapi perubahan menuju energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.

PSE hadiri World Hydropower Congress 2023

Climate ChangeHukum dan KebijakanNewsRenewable Energy Wednesday, 1 November 2023

Pada tanggal 31 November 2023, Pusat Studi Energi UGM memenuhi undangan untuk hadir dalam Opening Ceremony of World Hydropower Congress 2023 yang dibuka oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Bali.

Dalam sambutannya, Jokowi mengatakan bahwa saat ini bumi sedang sakit. “PBB menyebutkan saat ini bukan lagi global warming, tapi sudah masuk ke global boiling. Kenaikan suhu bumi jika dibiarkan mencapai lebih dari 1,5 derajat Celsius, maka diprediksi akan mengakibatkan 210 juta orang mengalami kekurangan air, 14 persen populasi akan terpapar gelombang panas dan 290 juta rumah akan terendam akan terendam banjir pesisir dan 600 juta orang akan mengalami malnutrisi akibat gagal panen dan ini ancaman yang nyata bagi kita semuanya” ujarnya.

Untuk itu, Indonesia terus berkomitmen untuk meningkatkan oemanfaatam green energy di Indonesia. Jokowi mengungkapkan lebih dari 4.400 sungai potensial sebagai sumber listrik. “Dan 128 di antaranya adalah sungai besar seperti Sungai Mambramo yang memiliki potensi 24 ribu MW, Sungai Mambramo ini di Papua. Kemudian Sungai Kayan memiliki potensi 13 ribu MW, ini di Kalimantan Utara yang nantinya akan digunakan sebagai sumber listrik untuk green industrial park di Kalimantan. Sekali lagi ini adalah potensi besar yang bisa kita manfaatkan untuk masa depan bumi dan masa depan generasi penerus,” paparnya.

Pada kegiatan ini, Jokowi didampingi oleh Menteri ESDM, Arifin Tasrif serta Malcolm Tumbull, President of International Hydropower Association and former Prime Minister of Australia.

PSE UGM Gelar FGD : Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah Daerah dalam Mendukung Transisi Energi yang Berkeadilan

Hukum dan KebijakanNews Friday, 27 October 2023

PSE UGM Melaksanakan Kegiatan Focus Group Discussion Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah Daerah dalam Mendukung Transisi Energi yang Berkeadilan

Yogyakarta | Pusat Studi Energi (PSE) UGM bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang didukung oleh Ford Foundation dalam melaksanakan kegiatan FGD untuk Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah Daerah dalam Mendukung Transisi Energi yang Berkeadlian. Kegiatan FGD ini dihelat di Eastparc Hotel, Yogyakarta yang dilaksanakan selama 1 (satu) hari penuh pada tanggal 17 Oktober 2023. Peserta dari kegiatan FGD ini, diantaranya OPD Provinsi Jawa Barat, OPD Kabupaten Sukabumi dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

 

Pada sesi awal, beliau, Bapak Ardyanto Fitrady, S.E., M.Si., Ph.D sebagai wakil kepala Pusat Studi Energi (PSE) UGM memberikan sambutan terkait pentingnya proses transisi energi dalam mewujudkan program Net Zero Emission pada tahun 2060.

Selanjutnya, acara dibuka oleh Bapak Ir. Tavip Rubiyanto, selaku Analis Kebijakan Ahli Madya pada Substansi Energi dan Sumber Daya  Mineral,  Direktorat  SUPD  I  Ditjen  Bina  Pembangunan Daerah. Dalam sambutannya, beliau juga menyampaikan sektor energi merupakan kontributor terbesar dalam emisi CO2 sehingga dibutuhkan langkah strategis yang meliputi pengembangan energi terbarukan, pelaksanaan efisiensi energi, dan konservasi energi. Masih terdapat gap dalam mencapai target di tahun 2025. Oleh karena itu, perlu dilakukan penguatan daerah dalam transisi energi.

Acara yang dimulai pukul 10:00 pagi berjalan sangat baik, tentunya dengan konsep diskusi yang santai namun tetap serius. Di dalam kegiatan tersebut, tim peneliti PSE UGM yang diwakili oleh Bapak Gabriel Lele, Ph.D, Ibu Dr. Mailinda, dan Ekrar Winata, M.Sc, kemudian memaparkan bahwa transisi energi akan membawa perubahan baik dari sosial hingga sisi ekonomi. Termasuk di dalam proses terminasi dini PLTU Pelabuhan Ratu, diperlukan suatu kajian yang dapat melihat berbagai aspek di dalam proses tranformasi sosial dan ekonomi dari suatu proses namun tetap menjaga ekosistem global melalui konsep environmental sustainability.

 

Di dalam kesempatan selanjutnya, perwakilan dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Barat, Bapak Permadi, ikut menyampaikan bahwa saat ini Provinsi Jawa Barat telah aktif dengan berbagai program pengembangan EBT, diantaranya: Pengembangan dan Pemanfaatan PLTS atap, Pengembangan dan pemanfaatan biogas dari kotoran ternak, Mendorong pemanfaatan PLTMH untuk kegiatan ekonomi produktif, dan proses konversi waste to energy.

Di akhir sesi kegiatan FGD ini, Bapak Tavip kemudian juga meminta OPD Kab/Kota untuk mendukung studi penyiapan panduan pelaksanaan energi transisi di daerah. Dokumen ini akan menjadi salah satu pedoman bagi daerah untuk dapat mewujudkan energi transisi yang berkeadilan.

PSE Paparkan Bahan Bakar Hidrogen pada Dissemination Workshop of Indonesia Industry Decarbonization Roadmap and Policy Recommendations

Climate ChangeHukum dan KebijakanNews Tuesday, 24 October 2023

Sektor industri di Indonesia merupakan pilar penting perekonomian negara, memberikan kontribusi signifikan terhadap produk domestik bruto dan menyediakan lapangan kerja lebih dari 278 juta penduduk. Sektor industri juga merupakan konsumen energi terbesar di negara, yang mengkonsumsi sebesar 35% dari konsumsi energi final pada tahun 2020. Sayangnya, karena ketergantungannya yang besar terhadap bahan bakar fosil, sektor ini menjadi penghasil emisi terbesar kedua setelah transportasi dengan lebih dari 214,6 MtCO2 eq dikeluarkan dalam setahun.

Dengan latar belakang tersebut, IESR dan LBNL melakukan kajian bersama untuk merumuskan peta jalan dekarbonisasi industri di Indonesia. Studi ini berfokus pada lima industri terpilih yang dianggap penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan diklasifikasikan sebagai industri padat energi. Industri terpilih tersebut adalah semen, besi dan baja, pulp dan kertas, ammonia dan tekstil. Secara keseluruhan, kelima industri tersebut mendominasi konsumsi energi pengguna akhir di sektor ini sebesar lebih dari 40% pada tahun 2021.

Berdasarkan temuan terbaru studi ini, emisi dari kelima industri tersebut diperkirakan akan mengalami peningkatan yang signifikan jika tidak dilakukan tindakan dekarbonisasi. Sebelumnya pada tahun 2021, emisi lima industri mencapai 101,5 MtCO2 eq dan akan terus meningkat lebih dari 1,4 kali lipat pada tahun 2060 berdasarkan skenario bisnis seperti biasa. Peningkatan sebesar ini tentu akan menggagalkan janji yang telah disepakati untuk menjaga kenaikan suhu rata-rata global jauh dibawah 2°C. Oleh karena itu, dekarbonisasi sektor ini sangat penting bagi Indonesia untuk memenuhi komitmennya untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060. Selain itu, dekarbonisasi sektor industri juga dapat meningkatkan daya saing negara di pasar internasional melalui peraturan lingkungan hidup yang lebih ketat untuk barang impor dan mekanisme carbon pricing yang telah efektif di beberapa negara tujuan ekspor, seperti Uni Eropa.

Untuk melanjutkan pembahasan peta jalan dekarbonisasi industri, maka IESR dan LBNL menyelenggarakan acara Dissemination Workshop of Indonesia Industry Decarbonization Roadmap and Policy Recommendations pada tanggal 23 Oktober 2023 di Jakarta.

Pada acara tersebut, Bapak M. Akhsin Muflikhun, Ph.D selaku technology expert dari PSE UGM mengatakan bahwa “salah satu strategi utama untuk melakukan dekarbonisasi adalah peralihan bahan bakar ke hidrogen ramah lingkungan. Namun dalam implementasi di masa depan ditemukan beberapa tantangan dan hambatan. Yang pertama adalah kesiapan teknologi yang perlu dilakukan kajian lebih dalam. Di Indonesia, penelitian fundamental sudah mulai dirintis selama ini. Pertamina dan PSE UGM menginisiasi teknologi fundamental di bidang hydrogen (hydrogen storage berdasarkan solid state), beberapa penelitian juga telah dilakukan dan dimulai dengan BRIN (fuel cell), serta kebijakan terkait hydrogen hijau juga telah dilakukan oleh PSE UGM bersama beberapa mitra. Tantangan lainnya adalah belum adanya peraturan menyeluruh atau utama terkait produksi hydrogen, selain itu insentif terkait hydrogen juga diperlukan, harga energi terbarukan perlu diturunkan dan meningkatkan cakupan pajak karbon.”

PSE dan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi ESDM Bahas Peningkatan Pemanfaatan Gas Suar untuk Pembangkitan Listrik sebagai Langkah Strategis Menuju Transisi Energi yang Berkelanjutan

Climate ChangeHukum dan KebijakanNews Tuesday, 24 October 2023

Kunjungan Pusat Studi Energi UGM ke Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi ESDM: Peningkatan Pemanfaatan Gas Suar untuk Pembangkitan Listrik sebagai Langkah Strategis Menuju Transisi Energi yang Berkelanjutan

Jakarta – PSE UGM dalam perannya sebagai advokasi dan akademisi melakukan kunjungan ke Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas). PSE UGM mengadakan diskusi terkait pemanfaatan gas suar sebagai sumber pembangkitan listrik, dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca (GHG) dan mendorong pemanfaatan energi bersih. Kegiatan ini berlangsung di kantor Ditjen Migas, Jl. H. R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan pada tanggal 23 Oktober 2023 pukul 08:00 WIB.

Diskusi ini dibuka oleh Prof. Sarjiya selaku Kepala PSE UGM, yang menguraikan bagaimana emisi GHG di Indonesia telah mengalami peningkatan sebesar 3,9% per tahun selama periode 2000-2019. Sektor pembangkitan listrik, terutama yang berasal dari bahan bakar fosil, memberikan kontribusi terbesar terhadap emisi ini. Dalam upaya mengatasi masalah ini, Prof. Sarjiya mengusulkan pemanfaatan gas suar dari kilang minyak untuk proses pembangkitan listrik sebagai solusi yang efektif.

Dannys Arif menambahkan bahwa integrasi gas suar ke dalam sistem pembangkitan listrik tidak hanya meningkatkan efisiensi operasional, tetapi juga menawarkan manfaat ekonomi dan lingkungan. Pemanfaatan gas suar dengan kandungan hidrogen yang tinggi secara signifikan dapat mengurangi emisi CO2.

Prof Tutuka selaku Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi menekankan perlunya mempertimbangkan kandungan CO2 dalam gas suar karena dapat mempengaruhi efisiensi pembakaran pada turbin. Beliau juga menekankan pentingnya memastikan bahwa pembangkitan listrik dari gas suar memiliki daya yang setara dengan sumber listrik yang akan digantikannya, dengan mempertimbangkan sifat intermiten dari kandungan gas suar.

Dalam konteks ekonomi, Ardyanto Fitrady Ph.D. menyoroti manfaat perekonomian nasional dari pemanfaatan gas suar. Investasi dalam teknologi ini dapat menciptakan peningkatan output, pendapatan masyarakat, dan kesempatan kerja. Berdasarkan kasus studi, pemanfaatan gas suar dapat menghemat biaya bahan bakar gas untuk listrik sebesar 11-40%.

Dr. Irine Handika menambahkan bahwa pemanfaatan gas suar sebagai sumber tenaga listrik membutuhkan pertimbangan khusus terkait aspek legal, keamanan, dan keberlanjutan. Beliau juga menyinggung pentingnya integrasi pemanfaatan gas suar dalam skema perdagangan emisi karbon.

Dr. Mirza Mahendra selaku Direktur Teknik dan Lingkungan Migas mengingatkan bahwa pembakaran rutin gas suar seharusnya dihindari dan hanya diperbolehkan dalam kondisi tertentu untuk alasan keselamatan.

Diskusi ini menciptakan pembahasan penting untuk pengembangan kebijakan dan strategi yang akan mendorong transisi energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Ke depan, kolaborasi antara pemerintah, industri, dan para ahli akan menjadi kunci dalam mengoptimalkan pemanfaatan gas suar untuk pembangkitan listrik dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

Diskusi PSE dan Deputi 1 Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi : Pemanfaatan Gas Suar untuk Pembangkitan Listrik

Climate ChangeHukum dan KebijakanNews Tuesday, 24 October 2023

Kunjungan Pusat Studi Energi UGM ke Deputi 1 Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi: Pemanfaatan Gas Suar sebagai Pembangkitan listrik untuk Efisiensi Energi dan Penurunan Emisi Karbon

Jakarta, 23 Oktober 2023 – Dalam upaya mendorong meningkatkan efisiensi penggunaan energi dan mengurangi emisi karbon, Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) melakukan kunjungan dan diskusi ke Deputi 1 Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi pada pukul 14:00 WIB. Acara diskusi ini diinisiasi untuk membahas potensi inovasi dalam pemanfaatan gas suar di kilang minyak.

Prof. Sarjiya selaku Kepala PSE UGM, membuka acara, menjelaskan urgensi untuk berinovasi mengingat profil emisi pembangkitan listrik dan kilang di Indonesia tertinggi dibandingkan dengan sektor lain. Beliau menjelaskan bahwa dengan memanfaatkan gas suar efisiensi penggunaan bahan bakar dapat ditingkatkan, bahan bakar dapat dihemat, dan terjadi penurunan emisi melalui integrasi pembangkitan listrik dari gas suar.

Dannys Arif menambahkan bahwa integrasi gas suar ke dalam sistem pembangkitan listrik di kilang-kilang minyak akan meningkatkan efisiensi operasional sistem pembangkitan dan mengurangi konsumsi bahan bakar, tetapi juga menawarkan manfaat lingkungan. Pemanfaatan gas suar, khususnya yang kaya akan hidrogen, secara signifikan dapat mengurangi emisi CO2 dari pembangkit listrik.

Sementara itu, Ardyanto Fitrady Ph.D. memaparkan bahwa investasi untuk pembangkit gas suar, berdasarkan studi kasus beberapa kilang, pemanfaatan gas suar dapat menghemat biaya bahan bakar gas untuk listrik. Dari sisi ekonomi, investasi ini sangat menguntungkan dan berdampak positif terhadap perekonomian dan penyerapan tenaga kerja. Selain dampak terhadap perekonomian makro, pemanfaatan gas suar sebagai pembangkit listrik pada kilang minyak juga dapat menjadi upaya dekarbonisasi sektor energi.

Dr. Irine Handika memberikan penjelasan mendalam terkait aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan gas suar sebagai penyedia tenaga listrik. Beliau menjelaskan tantangan intermitensi, keamanan pembangunan pembangkit di wilayah kilang, kebutuhan pembentukan badan usaha baru, dan integrasi pemanfaatan gas suar dalam perdagangan emisi karbon.

Terdapat peluang besar untuk mengintegrasikan gas suar dalam perdagangan emisi karbon dan memberikan kontribusi terhadap dekarbonisasi sektor energi dijelaskan Dr. Irine Handika. Beliau juga menambahkan bahwa penjualan gas suar secara langsung memerlukan regulasi yang jelas, termasuk klasifikasi gas suar berdasarkan supply chain dan kandungan gas suarnya.

Bapak Jodi Mahardi selaku Deputi 1 Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi, menyatakan ketertarikannya terhadap konsep carbon trading dan kemungkinan penjualan listrik ke luar kilang. Beliau juga menyarankan pengembangan lebih lanjut terkait pemanfaatan blue hydrogen pada Gas Suar Kilang Minyak.

Melalui diskusi ini, Pusat Studi Energi UGM dan Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi berharap dapat bersinergi dalam menciptakan inovasi dan strategi yang efektif untuk meningkatkan efisiensi energi dan mengurangi jejak karbon di Indonesia, sejalan dengan upaya transisi energi yang berkelanjutan.

Kepala PSE Sampaikan Kuliah Umum Peran Migas Dalam Transisi Energi.

Climate ChangeHukum dan KebijakanNewsRenewable Energy Sunday, 22 October 2023

Kepala PSE UGM, Prof Sarjiya, pada tanggal 20 Oktober 2023 di Auditorium FISIPOL UGM menyampaikan kuliah umum dengan materi peran migas dalam transisi energi. Pada paparannya beliau menyampaikan pentingnya peran industri migas dalam mendukung integrasi energi terbarukan dalam kerangka perencanaan sistem ketenagalistrikan menuju NZE 2060.

Hal ini didasari bahwa potensi energi terbarukan terbesar Indonesia adalah solar PV dan dalam RUKN bauran energi surya yang paling besar diantara jenis EBT lainnya. Dengan karakteristiknya yang intermittent, pemanfaatan Solar PV harus didukung dengan pembangkit dengan fleksibilitas tinggi yaitu pembangkit listrik tenaga gas. Apalagi dengan bauran energi dari batubara yang harus semakin berkurang karena beberapa PLTU sudah dipersiapkan menuju phase out dan phase down, maka pembangkit berbasis bahan bakar gas harus mampu menggantikan peran PLTU sebagai pembangkit beban dasar dan sebagai sumber inersia untuk mendukung stabilitas sistem.


Kegiatan kuliah umum ini diselenggarakan sebagai rangkaian penandatangan MoU antara UGM dengan Exxon Mobile Indonesia. Pembicara lain yang menyampaikan materi adalah Muhammad Nurdin, Senior Vice President Production Exxon Mobil Indonesia dan Prof Poppy Sulistyaning Winanti, dosen FISIPOL UGM.

PSE Paparkan Materi Energi di IEEE Indonesia Section di ISTTS

Climate ChangeHukum dan KebijakanNews Saturday, 14 October 2023

Kepala Pusat Studi Energi UGM, Prof Sarjiya, menjadi narasumber pada kegiatan IEEE Day yang diselenggarakan oleh IEEE Indonesia Section di Auditorium Institut Sains dan Teknologi Terpadu Surabaya (ISTTS) pada tanggal 14 Oktober 2023. Beliau menyampaikan materi tentang Transisi Energi untuk Memititasi Dampak Perubahan Iklim. Kegiatan IEEE Day diselenggarakan oleh IEEE Indonesia Section untuk memperingati pertama kalinya para insinyur dari seluruh dunia dan para anggota IEEE berkumpul dan berbagi gagasan di bidang teknik dan rekayasa pada tahun 1884.

Pada paparannya Prof Sarjiya menyampaikan isu-isu strategis dan hasil-hasil riset yang dilakukan oleh Pusat Studi Energi UGM terkait dengan transisi energi dan perubahan iklim dikaitkan dengan konsep trilema energi dimana penyediaan energi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi harus memperhatikan aspek security/reliability, affordability dan accessability serta sustainability.

PSE Paparkan Gagasan dalam Forum Hukum Hulu Migas 2023

Hukum dan KebijakanHukum EnergiNews Tuesday, 10 October 2023

Forum Hukum Hulu Migas 2023 mengusung tema “Tantangan Regulasi dan Kebijakan di Sektor Hulu Minyak dan Gas Bumi di Era Dekarbonisasi”

Forum Hukum Hulu Migas (FHHM) adalah Forum Pertemuan antar Praktisi Bidang Hukum yang bekerja di SKK Migas dan Mitra Kerja (KKKS) serta Stakeholder Pemerintah dan Non-Pemerintah lainnya, termasuk para external lawyers. FHHM selama ini dianggap sebagai forum penting untuk berbagi, berdiskusi serta berkolaborasi untuk berpartisipasi, menyumbangkan gagasan, konsep dan kontribusi lainnya dalam rangka membangun sistem hukum terkait kegiatan usaha hulu migas di Indonesia yang berwawasan global. Dalam FHHM ini mengundang Dr. Irine Handika dari Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada sebagai narasumber yang memberikan pandangan dari sisi akademisi terkait RUU Migas dan paradigma baru pengelolaan migas dalam era dekarbonisasi.

Dalam rangka mencapai keamanan energi yang berkelanjutan dan menghadapi tantangan perubahan iklim global, negara-negara di dunia berkomitmen/menyepakati untuk transisi energi dan pengurangan karbon (dekarbonisasi). Strategi transisi energi dilakukan secara bertahap dan terukur, mengingat peran energi fosil masih diperlukan sebagai energi transisi.

“Kenapa kita mesti transisi energi? Karena agar oil and gas kita bisa laku di luar negeri. Jika tidak laku, akhirnya Indonesia tidak bisa bersaing dengan barang negara-negara lain,” ungkap Dr. Irine Handika dari Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada dalam pemaparannya di Forum Hukum Hulu Migas 2023 (FHHM) di Hotel Tentrem Yogyakarta, Senin (9/10/2023).

Ia merujuk pada definisi normatif Transisi Energi yang termaktub dalam RPP KEN 7 Agustus 2023 bahwa transisi energi adalah proses transformasi penyediaan dan pemanfaatan Energi Tak Terbarukan menjadi Energi Baru dan Energi Terbarukan, penggunaan teknologi energi rendah karbon dan/atau efisiensi energi secara bertahap, terukur, rasional, dan berkelanjutan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.

Menurutnya, transasi energi kini menjadi aspek penting yang perlu diperhatikan, mengingat pasar global memberikan atensi besar terhadap jejak karbon. Oleh karenanya, Indonesia harus dapat mulai meramu dengan baik agar jejak karbon dapat diminimalisir.

Lebih lanjut, terkait penerapan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) pada industri minyak dan gas, dari sejumlah kajian yang dilakukan UGM, Irine mengungkapkan beberapa hal mengenai kepastian hukum agar perlu dimasukkan dalam pengaturan CCS dan CCUS tersebut.

Catatan tersebut secara garis besar meliputi liabilitas, posibilitas probis, perizinan, dan lex specialist insentif pajak. Dimana usulan atas pengaturan norma-norma tersebut menyimpan urgensitas untuk dimuat dalam revisi UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).

Sehubungan posisi UU Migas menjadi dependent variable dalam transisi energi, kata dia, tak hanya tata Kelola CCS/CCUS, terdapat sejumlah aspek lain yang tak kalah penting dimuat dalam revisi UU Migas. “Secara garis besar yaitu perihal transisi energi, dekarbonisasi, ketahanan energi, serta green economy.”

Pusat Studi Energi
Sekip Blok K1.A Kampus Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta - Indonesia
Tel/Fax: +62-0274-549429 | e-mail : pse@ugm.ac.id

Universitas Gadjah Mada

Pusat Studi Energi

Universitas Gadjah Mada

Sekip Blok K1-A Yogyakarta 55281

pse@ugm.ac.id
 +62 (274) 549429
 +62 (274) 549429

Pusat Studi Energi

  • Home
  • Tentang PSE
    • Pengantar
    • Visi dan Misi
    • Kegiatan
    • Kerjasama
    • Personalia
  • Program Kerja
  • Jasa
    • Jasa Survei Geofisika untuk Eksplorasi Air Tanah
    • Jasa Survei Geofisika untuk Geoteknik
    • Jasa Audit Energi
  • PENELITIAN
  • Pelatihan
  • Kontak

© Pusat Studi Energi - Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY