Jakarta – Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (PSE UGM) menggelar seminar bertajuk “Visi Hidrogen Hijau untuk Indonesia” pada 14 Desember 2022 di Four Points by Sheraton, Jakarta. Acara ini bertujuan untuk mendalami potensi dan tantangan pengembangan hidrogen sebagai sumber energi masa depan di Indonesia.
Dalam sambutannya, Prof. Sarjiya, Kepala PSE UGM, menekankan pentingnya transisi menuju energi terbarukan. Ia menyoroti bahwa meskipun Indonesia telah mencapai 12% penggunaan energi terbarukan, negara ini tetap memiliki target ambisius sebesar 25% pada 2025. Hidrogen, khususnya green hydrogen, dianggap sebagai salah satu solusi untuk mengatasi tantangan oversupply energi di Indonesia. Sektor transportasi dan penyimpanan energi diidentifikasi sebagai dua sektor potensial yang bisa memanfaatkan gas hidrogen.
Dr. Ir. Agus Puji Prasetyono, M.Eng., IPU dari Dewan Energi Nasional, memberikan pandangan mendalam tentang lanskap energi saat ini di Indonesia. Ia menyampaikan bahwa tantangan terbesar yang dihadapi adalah bagaimana mendorong pertumbuhan industri dengan menggunakan energi bersih demi mendukung keberlanjutan dan Net Zero Emissions (NZE). Agus juga menyoroti perlunya meningkatkan konsumsi energi per kapita Indonesia untuk memicu pertumbuhan ekonomi, dengan mengaitkannya dengan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Sementara itu, Andriah Feby Misna, S.T., M.T., M.Sc, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan, membahas tentang potensi besar Indonesia dalam mengembangkan hidrogen sebagai sumber energi. Meskipun saat ini produksi hidrogen masih mahal, diproyeksikan bahwa biaya produksi akan menurun di tahun-tahun mendatang, menjadikannya lebih kompetitif. Andriah juga menyoroti pilot project yang dilakukan bersama Pertamina dalam produksi green hydrogen, yang memiliki potensi untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Dr. Adhika Widyaparaga dan Tim Green Hydrogen PSE UGM, memberikan pandangan komprehensif mengenai potensi Green Hydrogen sebagai solusi masa depan. Menurut Dr. Adhika, ada peluang besar di pasar Green Hydrogen, yang didorong oleh potensi dan kebutuhan energi Indonesia. Penegasan ini didasari oleh proyeksi penggunaan energi nasional dan perpindahan ibukota baru.
Analisis demand dan supply menunjukkan bahwa permintaan hidrogen saat ini banyak berasal dari sektor industri seperti metanol, amoniak, dan DRI. Diperkirakan permintaan hidrogen akan meningkat tiga kali lipat dibandingkan penggunaan energi saat ini. Dengan demikian, Indonesia memiliki kesempatan emas untuk menjadi pelopor dalam pengembangan hidrogen. Pada saat yang sama, TRL (Technology Readiness Level) hidrogen hijau saat ini lebih banyak difokuskan pada penggunaannya di kilang minyak.
Namun, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi. Dari sisi supply, harga green hydrogen masih relatif tinggi. Listrik yang dihasilkan dari green hydrogen saat ini masih lebih mahal dibandingkan energi dari batu bara. Selain itu, permintaan ekonomi untuk green hydrogen masih rendah. Oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk kebijakan yang dapat meningkatkan daya saing hidrogen hijau dibandingkan dengan sumber energi bersih lainnya.
Dr. Adhika juga memberikan masukan penting mengenai kebijakan Green Hydrogen. Menurutnya, hidrogen bisa berfungsi sebagai penyimpan energi pendukung EBT (Energi Baru Terbarukan). Saat ini, produksi Green Hydrogen yang paling komersil adalah Dark Fermentation. Namun, produksi bio-hidrogen dan teknologi penyimpanan, seperti Physical Storage yang sudah dikomersilkan, juga menjanjikan. Teknologi ini memanfaatkan prinsip Full Metalic di mana sebagian gas yang ditekan akan menempel pada dindingnya. Meski demikian, penyimpanan energi dari teknologi ini bisa memberi output maksimum umumnya 4-6 jam.
Memandang ke depan, Dr. Adhika menekankan pentingnya fokus pada feedstock industri, terutama pada sektor yang belum menggunakan hidrogen. Implementasi hidrogen hijau akan lebih efektif pada sektor-sektor yang belum dikarbonisasi. Salah satu sektor yang menjanjikan adalah heavy duty, yang dapat dipenuhi dengan lokasi pengisian yang terbatas.
Tantangan lain yang disoroti adalah kerangka kebijakan makro di bidang energi. Beberapa negara seperti Chili, Jepang, Australia, dan Prancis telah mengembangkan kebijakan hidrogen yang matang. Indonesia perlu memodifikasi undang-undang energi untuk menciptakan permintaan yang lebih tinggi. Koordinasi sektoral, khususnya di sektor perindustrian, dan amandemen UU Ketenagalistrikan juga menjadi krusial untuk meningkatkan nilai tambah hidrogen hijau di Indonesia.
Menutup paparannya, Dr. Adhika berharap Indonesia dapat merancang “Hydrogen Vision Framework” yang kuat sebagai panduan bagi masa depan energi bersih negara ini. Dengan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan institusi pendidikan seperti PSE UGM, banyak pihak optimis bahwa visi hidrogen hijau untuk Indonesia dapat direalisasikan dalam waktu dekat.