REVITALISASI BAHAN BAKAR NABATI (BBN)
Oleh : KARNA WIJAYA (Manajer Biofuel dan Hidrogen) Pusat Studi Energi UGM
E-mail: karna_ugm@yahoo.com, karnagmu@gmail.com, karnawijaya@ugm.ac.id
Disahkannya UU APBN 2012 oleh DPR yang mengharuskan kendaraan pribadi berbahan bakar bensin menggunakan BBM Pertamax mulai tanggal 1 April 2011 seyogyanya kita sikapi dengan pikiran jernih. Kebijakan ini sebenarnya merupakan indikasi kesulitan pemerintah untuk menyediakan BBM dalam jumlah cukup kepada masyarakat yang saat ini mencapai angka 56 juta kiloliter/tahun. Meningkatnya konsumsi energi fossil sebesar 4 % per tahun karena jumlah kendaraan, industri dan pemakaian energi rumah tangga yang cenderung meningkat tajam dari tahun ke tahun, belum tersedianya sumber energi alternatif pengganti BBM yang memadai dan belum diketemukannya sumur-sumur minyak baru yang mengakibatkan Pertamina harus mengimpor BBM jenis premium sebesar 12 juta kiloliter/tahun dan jenis solar sebanyak 3 juta kiloliter/tahun merupakan faktor-faktor penting mengapa kebijakan sektor BBM ini timbul.
Sebagai suatu kebijakan, tentu ada dampak positif dan negatifnya kepada masyarakat. Berimplikasi positif bagi mereka yang patut mendapatkan subsidi dan para penggiat bahan bakar alternatif, karena dengan diberlakukannya kebijakan ini pemakai subsidi akan membayar harga yang pantas untuk setiap liter BBM yang mereka beli dan untuk para penggiat bahan bakar alternatif peristiwa ini akan menjadi momentum penting untuk merevitalisasi biofuel (BBN) dan mengingatkan masyarakat akan arti penting BBN yang pada umumnya lebih ramah lingkungan, terbarukan, murah dan mudah diproduksi daripada BBM. Implikasi negatif yang mungkin timbul adalah trauma masyarakat seperti beberapa tahun lalu ketika harga BBM melambung tinggi dan langka sehingga mengakibatkan antrian panjang pembelian BBM dimana-mana,
Kendala dan Strategi Pengembangan BBN
Upaya pemanfaatan BBN sebagai bahan bakar alternatif sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah, khususnya Pertamina sejak lama, payung hukumnya juga jelas, seperti Undang-undang No.30 tahun 2007 tentang Energi yang mengamanatkan pemerintah untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan. Undang-undang ini kemudian diperkuat lagi oleh peraturan Menteri (PERMEN) ESDM nomer 32 tahun 2008 yang memuat mandatori BBN di Indonesia. Meski demikian, fakta yang ada dilapangan menunjukkan bahwa penggunaan BBN masih jauh dari harapan kita semua. pemakai kendaraan di Indonesia saat ini umumnya masih senang menikmati BBM bersubsidi karena harganya yang relatif murah daripada menggunakan BBM bercampur BBN yang lebih mahal.
Seperti juga BBM, pengadaan, distribusi dan pemasaran BBN bukan tanpa masalah dan kendala. Misalnya untuk pengadaan biodiesel, produsen biodiesel mengalami kesulitan memperoleh bahan baku. Bahan baku berupa minyak nabati saat ini sulit diperoleh, karena minyak sawit misalnya, selain sebagai bahan baku biodiesel yang potensial, juga digunakan sebagai minyak goreng. Penggunaan PFAD (Palm Fatty Acid Distillate) yang merupakan by product proses pembuatan minyak goreng walaupun harganya jauh lebih murah dari minyak segar tetapi kandungan free fatty acid (FFA) yang tinggi pada PFAD memaksa produsen biodiesel menambah instalasi pengolahnya (reaktor Esterifikasi) yang pada gilirannya akan menaikkan biaya produksi. Disamping minyak sawit atau minyak nabati lainnya, metanol sebagai bahan baku vital pembuatan biodiesel harganya relatif cukup mahal sehingga produsen hampir tidak mendapaatkan keuntungan apabila tetap menjual biodiesel dengan harga solar bersubsidi.
Untuk bioetanol saat ini keadaanya juga tidak jauh berbeda. Sebagai contoh harga premium terkini di SPBU adalah Rp.4500,-/liter dan ini lebih rendah dari harga bioetanol yang mencapai sekitar Rp. 8000,-/liter atau lebih tergantung kadarnya. Dengan harga seperti itu sudah pasti produsen bioetanol akan merugi jika tetap memaksakan diri menjual bioetanol sebagai biopremium dengan harga Rp.4500,-/liter. Persoalan pemakaian bioetanol sebagai substitusi BBM juga terhambat pasokan etanol pertahun yang relatif rendah. Konsumsi bensin premium di Indonesia tercatat mencapai 1,5 juta kiloliter/bulan sedangkan pasokan etanol untuk BBN di Indonesia hanya mencapai 500 kiloliter/bulan walaupun kalau kita lihat data statistik, jumlah pabrik bioetanol di Indonesia cukup banyak dan kapasitas produksinyapun tinggi (Tabel 1) Kendala pengembangan industri bioetanol juga disebabkan oleh kenaikan harga tetes tebu sebagai bahan baku bioetanol yang mencapai 100% (USD 65/ton pada tahun 2008 menjadi USD 125-130/ton pada tahun 2009) dan akan dibukanya kran impor bioetanol dari Brazilia karena pertimbangan production cost berpotensi menghancurkan industri bioetanol di Indonesia.
Tabel 1. Pabrik Bioetanol Nasional dan Kapasitas Produksinya tahun 2008
Selain biodiesel dan bioetanol BBN lain yang cukup menjanjikan untuk terus dikembangkan di Indonesia adalah biogas, biogas memiliki peluang yang besar dalam pengembangannya karena teknologi pembuatan dan pemanfaatnya relatif mudah dan murah. Secara umum pemanfaatan energi biogas memiliki banyak keuntungan, seperti mengurangi efek gas rumah kaca, mengurangi bau yang tidak sedap yang berasal dari kandang ternak, mencegah penyebaran penyakit berbahaya, menghasilkan energi ramah lingkungan serta pupuk padat dan cair. Biogas dapat diperoleh dari kotoran dari ayam, sapi, babi, manusia, air limbah rumah tangga, sampah organik dari pasar, industri pangan dan sebagainya. Sebagai contoh seekor sapi dewasa dapat menghasilkan kotoran sebanyak 6 sampai 8 kg/hari. Kotoran tersebut dapat langsung digunakan untuk menghasilkan biogas. Untuk rumah tangga yang memiliki 2 – 4 ekor sapi akan diperoleh kotoran sebanyak kurang lebih 25 kg/hari cukup menghasilkan biogas setara dengan 2 liter minyak
Dewasa ini kapasitas terpasang biogas di Indonesia jauh dari optimal, yaitu kurang dari satu persen dari potensi biogas yang tersedia (diperkirakan 685 MW). Dari ternak ruminansia dengan populasi sekitar 13 680 000 ekor (2004) dapat dihasilkan kotoran rata-rata 12 kg/ekor/hari, sehingga secara keseluruhan dihasilkan kotoran sebanyak 164 160 000 ton per hari. Ini setara dengan 8,2 juta liter minyak tanah/hari.
Betapapun bagusnya program BBN yang diluncurkan pemerintah jika tidak didukung oleh masyarakat maka program tersebut menjadi sia-sia atau kurang optimal. Sosialisasi berkelanjutan melalui bebagai media perlu ditingkatkan. Terkait dengan rencana pemerintah untuk mengalihkan pemakaian premium ke pertamax bagi pemilik kendaraan pribadi maka perlu dilakukan upaya-upaya yang strategis dan jitu baik dari pemerintah maupun masyarakat untuk merevitalisasi BBN.
Menurut Porter (1985) strategi merupakan alat yang sangat penting untuk mencapai keunggulan bersaing. Strategi dapat diartikan juga sebagai perencanaan induk yang komprehensif, yang menjelaskan bagaimana institusi atau organisasi akan mencapai semua tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan misi yang telah ditentukan sebelumnya. Strategi pengembangan dan pemanfaatan BBN bisa bersifat sektoral, sendiri-sendiri atau secara simultan, yaitu mengembangkan berbagai macam BBN secara bersama-sama. Baik secara sektoral maupun simultan, pengembangan BBN harus memperhatikan aspek-aspek sosial, politik, ketersediaan bahan baku BBN serta kesiapan produsen dan konsumen menggunakan BBN.
Pembangunan Desa Mandiri Energi (DME) yaitu desa yang dapat memenuhi sendiri minimal 60% kebutuhan akan energinya, merupakan strategi pemerintah untuk membangun ketahanan energi melalui masyarakat pedesaan. DME diyakini dapat menjadi solusi cukup signifikan untuk mengatasi kebutuhan energi pedesaan.
Sebagai Negara agraris Indonesia sejatinya berpotensi untuk mengembangkan BBN seperti bioetanol dan biodiesel secara mandiri. Syarat-syarat menjadi raksasa Biofuel sudah tersedia semua. Pertama, bahan baku berupa tanaman berpati dan berminyak dapat diperoleh di seluruh wilayah Indonesia. Produksinya dari tahun ke tahun juga cenderung meningkat. Dengan kata lain prihal ketersediaan bahan baku BBN yang berkelanjutan bukan merupakan masalah lagi. Bahan baku pembuatan bioetanol yang banyak terdapat di Indonesia antara lain ubi kayu, jagung, ubi jalar, dan tebu. Semuanya merupakan biomassa yang kaya karbohidrat dan berasal dari tanaman penghasil karbohidrat atau pati. Begitu pula dengan tanaman bahan baku biodiesel, seperti sawit, kelapa, nyamplung, algae dan jarak pagar. Menurut US Department of Agriculture’s Foreign Agricultural Service, dewasa ini Indonesia diperkirakan memproduksi sekitar 41.4% (14.2 million tonnes) crude palm oil. Riset yang dilakukan oleh Forum Biodiesel (FBI) menyebutkan bahwa 0,3 hektar perkebunan sawit akan mampu menghasilkan biodiesel sebanyak 1000 liter biodiesel. Pada tahun 2009 proyeksi biodiesel dari minyak sawit mencapai 2% dari konsumsi diesel total dan permintaan ini pada tahun 2025 diperkirakan akan mencapai 5% dari konsumsi petroleum diesel, atau ekivalen dengan 4,7 juta kiloliter.Indonesia memiliki tenaga ahli BBN yang cukup sehingga Indonesia cukup siap mengembangkan dan menggunakan BBN. Payung hukum terkait BBN juga sudah ada, sehingga produksi, perdagangan atau pemakaian BBN di Indonesia bersifat legal.
Pemberian subsidi ataupun insentif kepada BBN bioetanol, biogas dan biodiesel dalam negeri seperti halnya BBM dan pembatasan impor bioetanol mungkin dapat menjadi solusi mempertahankan industri BBN Indonesia. Kendala lain pengembangan BBN adalah masih tergantungnya produsen BBN terhadap biomassa edible, atau dengan kata lain kebijakan pengembangan bioetanol bisa bergesekan dengan kebijakan ketahanan pangan, oleh karena itu pengembangan bioetanol atau biodiesel generasi kedua yang berbasis kepada biomassa non edible perlu dipertimbangkan.
Agar program revitalisasi BBN berlangsung sukses kita bisa mulai dari membenahi masing-masing sektor pada sistem supply chain industri biofuel, mulai dari penguatan sektor logistik, peningkatan kualitas dan kapasitas biorefinery, pembenahan delivery dan distribution systems serta penjaminan mutu biofuel
Penutup
Secara umum agar program pengembangan dan penggunaan BBN sukses maka kita harus memperhatikan aspek politik, sosial, kebudayaan dan supplay chain system pengadaan BBN yang dimulai dari tersedianya feedstock yang mencukupi, sistem logistik yang terjamin, tersedianya biorefinery, tersedianya sarana dan prasarana transportasi yang baik (product delivery system) untuk menjamin produk yang bermutu sampai ke end users. (Referensi: Berbagai sumber di internet dan media massa)