Senin, 19 Mei 2014 telah dilaksanakan rapat koordinasi Pusat Studi – Pusat Studi yang diwakili oleh masing-masing kepala Pusat Studi. Pertemuan kali ini dilaksanakan di Pusat Studi Energi UGM dengan agenda utama membahas tentang tata kelola dan usulan perubahan aturan tentang Pusat Studi dalam Anggaran Rumah Tangga UGM.Usulan perubahan yang dimaksut adalah perubahan beberapa klausul yang sudah ada diganti dengan klausul yang sesuai dengan dinamika perkembangan dan kegiatan di Pusat Studi.
News
Pada tanggal 23 April 2014, telah disepakati kerjasama dalam pemanfaatan energi terbarukan khususnya listrik surya untuk Karimunjawa antara PSE dengan USAID. Kerjasama ini meliputi bidang teknis yaitu instalasi Solar Home System(SHS) 500Wp sebanyak 8 lokasi dan Solar Water Pumping System (SWPS) sebanyak 4 lokasi. Lokasi pemasangan tersebar di daerah Karimunjawa termasuk pulau tetangga yaitu pulau Genteng dan pulau Nyamuk yang ditujukan untuk fasilitas umum. Selain kerjasama teknis, juga dilakukan kegiatan penguatan ekonomi penduduk terutama UKM yang berada di wilayah Karimunjawa berbasis Gender. Kegiatan ini diharapkan mamapu memberikan kontribusi peningkatan kesejahteraan masyarakat di Karimunjawa terutama bidang penyediaan energi dan penguatan ekonomi rakyat berbasis gender.
Dalam rangka kerjasama antara PSE UGM dengan PT. PERTAMINA UTC (Upstream Technology Center), pada tanggal 4 April 2014 telah dilakukan penandatangan kerjasama antara PSE dan PT Pertamina UTC di University Center (UC) UGM. Acara ini dihadiri oleh Wakil Rektor bidang PPM, Kepala PSE, Tenaga Ahli, Vice President PT. Pertamina UTC, dan Chief of Data & Geomatics PT. Pertamina. Kerjasama ini dilaksanakan dalam bentuk jasa konsultasi tenaga ahli bidang migas dan panas bumi di lingkunagn Pertamina Hulu “On Call Basis” yang
juga meliputi kerjasama penelitian serta penyerahan bantuan alat-alat penelitian dari UTC ke UGM.
Penggunaan nuklir sebagai sumber pasokan energi telah banyak diaplikasikan di negara-negara maju. Tercatat negara-negara seperti Prancis, Jepang dan Amerika telah mampu memanfaatkan energi ini untuk kebutuhan listrik nasional mereka dengan proporsi masing-masing sebesar 77,68 persen, 27 persen dan 19,86 persen.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak saat ini masih bergantung dengan penggunaan energi fosil sebagai pemasok utama energi nasional. Bahkan setiap tahunnya kebutuhan energi nasional meningkat seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk.
Menurut Dr. Deendarlianto, Kepala Pusat Studi Energi UGM, permasalahan kapasitas produksi energi yang menurun dan emisi pemanasan global menjadikan Indonesia berada di posisi defisit energi dan membutuhkan energi non-fosil. Prediksi Fakultas Teknik UGM bersama Toyota dalam penelitian tahun 2012 menyebutkan, meski semua sumber energi dikumpulkan, semua sumber energi di Indonesia pada tahun 2030 tetap tidak mampu mencukupi kebutuhan energi nasional.
“Dalam UU Energi terbaru disebutkan besarnya porsi energi terbarukan pada tahun 2025 mencapai 25 persen. Bahkan detail UU tersebut menyebut porsi nuklir sebesar 5 persen. Itu artinya meski sebagai last option Indonesia mestinya memiliki rencana untuk itu,” ujar Deendarlianto, di UC UGM, Rabu (19/3) terkait penyelenggaraan “Seminar on Understanding the Fukushima Nuclear Accident & Its Recovery Efforts”.
Karena sudah ada perintah undang-undang, sambung Deendarlianto, energi nuklir sebagai alternatif harus tetap dilakukan. Pemerintah melalui BATAN, akademisi, dan masyarakat sudah saatnya mulai berpikir tentang teknologi nuklir dan pengembangan nuklir untuk listrik dan sebagainya.
Deendarlianto mengakui meskipun energi nuklir telah memenuhi aspek ekonomis dan emisi, namun masih rendahnya aspek penerimaan masyarakat menjadikan proyek ini terhambat. Hal ini disebabkan masih minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah mengenai manfaat, risiko, serta penanganan bahaya PLTN. Apalagi masyarakat selama ini cenderung hanya mengetahui kecelakaan reaktor yang terjadi di masa lalu. Sejarah mencatat setidaknya ada tiga kecelakaan reaktor, yakni di Three Mile Island (1979), Chernobyl (1986) dan yang terbaru di Fukushima (2011).
“Hal ini tentu telah menimbulkan pro dan kontra tentang kelayakan atau keamanan penggunaan PLTN di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Melalui seminar ini kita bisa belajar secara langsung dari pakar-pakar di Jepang terkait penanganan reaktor Fukushima di tahun 2011, seperti Takehiko Mukaiyama, Akimasa Ono, Yoshimitsu Fukushima, Akira Kaneuji, Tadashi Inoue dan Kazuko Uno,” papar Deen.
Prof. Dr. Tumiran menambahkan kebutuhan tenaga nuklir di Indonesia cukup penting apalagi jika melihat tingkat kebutuhan listrik nasional yang terus bertambah. Kebutuhan listrik Indonesia selama ini sebesar 14,5 giga untuk 240 juta penduduk. Sementara itu, Malaysia dengan jumlah penduduk 29,5 juta listriknya mencapai 28 giga, sedangkan Jepang dengan 105 juta penduduk memiliki pembangkit listrik 240,5 giga. “Kita tidak ada apa-apanya, tetap tidak cukup jika kita hanya mengandalkan dari energi batubara, minyak dan gas maupun geothermal,” kata Tumiran.
Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng mengungkapkan Indonesia yang memiliki keinginan menuju sumber daya berteknologi tinggi memiliki kelemahan dalam kepemilikan energi dan infrastruktur. Infrastruktur dapat dipenuhi melalui koridor-koridor ekonomi, sementara bidang energi bisa dibangun melalui teknologi. “Banyak industri dibangun di tanah air tanpa diimbangi energi untuk menjalankan tentu sangat mustahil,” tuturnya. (Sumber : Humas UGM/Agung)
Perkembangan pemanfaatan enegi terbarukan cukup menggembirakan di Indonesia. Tahun 2012 saja lebih dari 100 Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) kapasitas 15 kWp yang telah terpasang tersebar se Indonesia dan memberikan manfaat yang luar biasa bagi masyarakat terpencil. Selain PLTS, instalasi PLTMH juga gencar dilakukan bagi daerah yang memiliki potensi air yang cukup.
Tentunya untuk menjamin keberlanjutan perangkat penyedia energi terbarukan diperlukan peran dari semua stakeholder di negeri ini, baik dari kelompok pengelolanya, masyarakat, pemerintah , swasta dan perguruan tinggi. Dalam semangat membantu menjaga keberlanjutan pemanfaatan energi terbarukan maka Deutsche Gesellschaft fuer Internationale Zusammenarbeit (GIZ) dan Pusat Studi Energi (PSE) UGM melakukan nota kesepahaman (MoU). Penandatanganan MoU antara Deutsche Gesellschaft fuer Internationale Zusammenarbeit (GIZ) dan Pusat Studi Energi (PSE) UGM dan sekaligus perjanjian teknis lainnya dilakukan di PSE UGM tanggal 12 Februari 2014.
Salah satu kerjasama yang telah berjalan berupa joint operation untuk BReIDGE Program yang telah dibangun sebelumnya oleh GIZ, yaitu berupa layanan SMS center bagi pengelola PLTS dan PLTMH di seluruh Indonesia. Jaringan SMS Center BReIDGE sampai saat ini melayani 358 lokasi PLTMH dan PLTS komunal di berbagai pelosok Indonesia. Melalui BReIDGE kita dapat membantu masyarakat dalam memecahkan permasalahan tehnis terkait operasional PLTS dan PLTMH yang akan memperkuat keberlanjutan PLTS atau PLTMH dalam mensejahterakan masyarakat. Usaha untuk membangun sustainability layanan energi terbarukan akan terus dilebarkan cakupan wilayahnya dengan intangible dan tangible benefitnya.
Dalam rangka Dies Natalis ke 64 Universitas Gadjah Mada, Fakultas Teknik dan Pusat Studi Energi UGM menyelenggarakan Kongres Nasional Kedaulatan Energi untuk Kesejahteraan Rakyat Indonesia. Kegiatan ini dilaksanakan pada Senin – Selasa, 16 – 17 Desember 2013 di Balai Senat Universitas Gadjah Mada. Kongres Nasional Kedaulatan Energi untuk Kesejahteraan Rakyat Indonesia ini diselenggarakan sebagai wadah komunikasi dan diseminasi informasi terkait dengan kebutuhan energi nasional, bahan bakar alternatif dan hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam implementasinya. Rangkaian acara terdiri dari sesi pleno dan focus group discussion.
Pembicara serta topik diskusi dalam kongres adalah sebagai berikut:
1. Kementrian Menteri Energi dan Sumber Daya (Ir Susilo Siswoutomo)
“Peran Kementerian ESDM dalam Memperkuat Sustainabilitas Energi Indonesia ”
2. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia Prof. Dr. Armida Salsiah Alisjahbana, S.E., M.A.
“Implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 terkait dengan infrastruktur energi dan kelistrikan”
3. PT PERTAMINA
“Pandangan dan kebijakan Pertamina di dalam mengupayakan sustainabilitas penyediaan energi untuk road transportation di Indonesia”
4. Ir. Tumiran, M.Eng., Ph.D. , Dewan Energi Nasional
“Energi untuk road transport dalam skema Kebijakan Energi Nasional”
5. Mr. Yoshihiko Matsuda, Managing Officer, Toyota Motor Corporation Japan
“Role of the Automotive Industry in supporting the sustainability of energy provision”
6. Kepala Pusat Studi Energi Dr.Eng. Deendarlianto (Universitas Gadjah Mada)
“Best Energy Mix for Road Transport in Indonesia”
(Humas-UGM-Yogyakarta) Tata kelola di sektor minyak dan gas bumi (migas) dinilai masih amburadul. Sektor ini belum mampu mensejahterakan, karena hampir 80 persen ladang Migas di Indonesia dikuasai asing.
Payung hukum dan undang-undang pelaksanaan di sektor migas dinilai saling bertentangan. Seperti bunyi Pasal 33 UUD 1945 dan UU nomor 22 tahun 2001, keduanya tidak berjalan seiring.
Ekonom, Dr. Fahmi Radhi, MBA mengatakan UU nomor 22 tahun 2001 sebagai implementasi UUD 1945 membuka peluang liberalisasi dan penguasaan asing atas ladang minyak Indonesia. Migas yang semestinya dijadikan komoditi strategis, dalam UU ini disebut sebagai komoditas pasar.
“Ini tentu membuka peluang asing mengelola ladang minyak kita, sementara peran Pertamina disamakan dengan perusahaan-perusahaan asing lainnya. Untuk blok Cepu, misalnya, Pertamina harus bersaing dengan Exxon Mobil, ya akan selalu kalah”, katanya di Lantai 5 Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Kamis (26/9).
Berbicara dalam Seminar Nasional Mencapai Kedaulatan Energi Dengan Mewujudkan Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi Yang Berlandaskan Konstitusi yang diselenggarakan Pusat Studi Energi UGM, Fahmi berpandangan migas Indonesia mestinya menjadi komoditi strategis. Dengan menjadi komoditi strategis maka peran pemerintah bisa melakukan intervensi.
“Seperti Petronas, dulu belajar dari Pertamina. Petronas besar dulu di negaranya, baru kini telah berkelas dunia, termasuk memiliki ladang minyak di Indonesia”, terangnya.
Fahmi pun merasa heran dengan sikap pemerintah yang senantiasa berpihak pada asing. Dalam berbagai pembukaan ladang minyak baru ataupun perpanjangan kontrak kerja sama, pemerintah senantiasa meminggirkan peran Pertamina. Bahkan keberpihakan sering diperlihatkan menteri atau staf ahli menteri yang selalu menilai Pertamina tidak mampu mengelola, tidak memiliki SDM handal hingga kecukupan modal. “Selalu saja, yang diucapkan menteri atau staf ahli, Pertamina tidak qualified untuk mengelola”, jelas Fahmi.
Dengan kondisi migas yang tergerus atau belum berdaulat, Fahmi berharap pemerintah bisa merebut kembali kedaulatan itu. Tidak harus dengan nasionalisasi seperti di Venezuela yang menimbulkan kontraproduksi, namun cukup dengan kebijakan menolak perpanjang kontrak kerja sama untuk pengelolaan ladang migas di Indonesia.
“Disamping itu, jadikan migas sebagai komoditi strategis sehingga pemerintah bisa intervensi dan segera lakukan amandemen terhadap UU no 22 tahun 2001 karena telah merugikan kesejahteraan rakyat”, harapnya.
Sampe L Purba memiliki harapan yang sama. Ia berharap model tata kelola industri migas ke depan memiliki roh Kedaulatan Energi dalam bentuknya yang konkrit. Yaitu dengan memastikan bahwa manajemen Kontrak Kerja Sama migas tetap ditangan pemerintah atau Badan/ Perusahaan Negara yang khusus dibentuk pemerintah.
“Semoga para pemangku kepentingan di berbagai lapisan, diberi kedewasaan, kearifan dan kematangan serta kenegarawanan dalam merumuskan UU Migas yang bermartabat, membumi dan visioner”, paparnya.
Dr. Deendarlianto, Kepala PSE UGM menganggap penting membangun tata kelola migas menjadi format usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi yang menjunjung kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian untuk menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Karena itu, seminar diharapkan menjadi instrumen publik agar mengetahui law in action. “Para peserta diharapkan tahu, apa-apa yang sesungguhnya dipraktekan di dalam pengelolaan migas selama ini”, katanya. (Humas UGM/ Agung)
Subsidi BBM selalu menjadi isu sentral di Indonesia dimana beban subsidi BBM semakin meningkat dari tahun ke tahun. Ironisnya dengan meningkatnya subsidi BBM kenaikan konsumsi BBM juga semakin meningkat sehingga subsidi BBM semakin membengkak dan pada akhirnya menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial, fiskal, dan moneter. Beberapa alternatif telah dikaji untuk mengurangi subsidi BBM, salah satunya adalah dengan menaikkan tarif BBM seperti yang telah didiskusikan di forum FGD sebelumnya. Potensi alternatif yang lain yang memungkinkan adalah pengurangan subsidi BBM melalui pemakaian BBG. Opsi alternatif ini muncul dengan pertimbangan potensi LPG dan gas bumi Indonesia yang cukup dan teknologi yang dapat dikuasai dan dikembangkan. Kajian dilakukan oleh peneliti-peneliti di Jurusan Teknik Mesin dan Industri, FT-UGM, mendukung bahwa migrasi kendaraan berbahan bakar minyak ke CNG dapat mereduksi subsidi sebesar 63% di tahun 2030 karena pengurangan penggunaan BBM.
Beberapa usaha telah dilakukan diantaranya adalah pembangunan infrastruktur SPBG di beberapa tempat di Jawa, Kalimantan dan Sumatra. Selain itu, penyediaan konverter kit dan pembangunan bengkel kendaraan BBG untuk pengkonversian juga telah dilakukan. Sayangnya hanya 8 dari 23 SPBG yang beroperasi (ESDM). Hal ini bisa jadi disebabkan karena pengguna kendaraan BBG masih sangat sedikit seperti hasil survey penelitian yang menyatakan bahwa ternyata hanya 7% dari responden memilih kendaraan BBG (Santoso, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa proses transisi BBM ke BBG merupakan permasalahan yang kompleks dimana banyak stakeholder yang terlibat dan adanya interaksi antar stakeholder, contohnya pemerintah, vendor kendaraan, pengguna kendaraan, pelaku investasi, dll. Belajar dari kasus di Thailand yang dipandang berhasil dalam proses migrasi BBM ke BBG, ada beberapa faktor yang mendukung proses transisi tersebut, yaitu pengontrolan harga BBG oleh pemerintah, investasi infrastruktur yang cukup besar dan dalam jangka panjang, standard keamanan kendaraan dan public recognition. Bagaimanakah dengan Indonesia? Apa sajakah yang telah diupayakan dalam proses migrasi ini? Faktor-faktor apa sajakah yang telah dan akan menghambat proses transisi ini, dan bagaimana tantangan dan isu-isu yang mungkin timbul dalam proses transisi?
Oleh karenanya, Pusat Studi Energi (PSE) UGM akan membahasnya dalam FGD dengan tema: “Migrasi BBM ke BBG”, dengan beberapa sub-topik yang akan dibahas diantaranya:
- Bagaimanakah kesiapan, isu, dan kendala dalam aspek teknologi kendaraan yang meliputi standard keamanan, jenis kendaraan yang dapat dikonversi, peranan vendor/OEM?
- Bagaimanakah kesiapan, isu, dan kendala yang berhubungan dengan infrastruktur seperti sistem pendistribusian BBG (SPBG), bengkel?
- Bagaimanakah persepsi dan acceptance masyarakat terhadap kendaraan BBG (keamanan, preferensi, attitude)?
- Bagaimanakah kebijakan pemerintah mendukung proses transisi (roadmap, target, realisasi)?
- Apakah tantangan dan isu-isu lain yang mungkin timbul dalam proses transisi BBM ke BBG di Indonesia?
Topik dan Sub-topik tersebut akan dibahas dalam FGD, pada:
Hari/Tanggal : Jum’at, 6 September 2013
J a m : 13.00 sd 15.00
Tempat : Ruang Sidang Pusat Studi Energi UGM
Jl. Sekip Blok K-1A, Kampus UGM Yogyakarta
Nara Sumber:
- Saryono Hadiwidjoyo, Komite BP Migas Hilir, Kementerian ESDM RI
- Indra Chandra Setiawan, Toyota Motor Manufacturing Indonesia
- Deendarlianto, Pusat Studi Energi UGM
Mekanisme Penetapan Harga BBM secara RASIONAL dan BERKEADILAN, yang dapat diterima secara Ekonomi, Sosial dan Politik serta mendorong
Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan
Setiap penetapan kebijakan Penaikan Harga BBM Subsidi selalu saja diwarnai dengan “kegaduhan”. Pemicu kegaduhan tersebut di antaranya wacana yang dilontarkan oleh pemerintah yang berkaitan dengan besaran kenaikan harga BBM, penetapan dua harga, waktu penetapan harga BBM, dan upaya pembatasan konsumsi BBM. Eskalasi kegaduhan semakin meningkat, manakala pemerintah membawa keputusan penaikan harga BBM ke ranah politik dengan melibatkan DPR untuk ikut memutuskannya.
Padahal, kegaduhan yang berkepanjangan menimbulkan ketidakpastian yang justru mempeburuk kondisi ekonomi makro, yang berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi, menaikan inflasi, dan melemahkan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Ujung-ujungnya, memburuknya ekonomi makro tersebut menyebabkan penurunan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan angka kemiskinan rakyat Indonesia.
Ketidakpastian penaikan harga BBM menyulitkan bagi Pengusaha dalam menetapkan Harga Pokok Penjualan, sehingga tidak sedikit Penguasaha yang masih menunggu kepastian dari Pemerintah. Kalau sikap menunggu ini menyebabkan menurunkan kapasitas produksi akan berakibat menurunkan capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Selain berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi, ketidakpastian juga memberikan kontribusi terhadap melemahnya kurs rupiah terhadap dollar. Ketidakpastian itu memicu jebolnya kuota konsumsi BBM yang meningkatkan volume impor Migas. Pada gilirannya, peningkatan volume impor Migas akan membengkaknya defisit neraca perdagangan, yang berpotensi melemahkan kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat. Dua bulan lalu kurs rupiah terhadap dollar masih pada kisaran Rp. 9.600, namun hari-hari ini kurs rupiah semakin melemah pada kisaran di atas Rp. 9.800 per satu dollar. Bahkan sempat melampaui batas ambang psikologis di atas Rp. 10.000 per satu dollar.
Ironisnya, jebolnya kuota konsumsi BBM tersebut salah satunya dipicu oleh ulah penimbunan dan penyelundup BBM bersubsidi. Pemerintah sendiri memperkirakan sekitar
30% dari total kuota BBM yang diselewengkan melalui penimbunan dan penyelundupan. Tidak ayal lagi, subsidi BBM yang mencapai Rp. 193 triliun, tidak hanya dinikmati oleh orang kaya pemilik mobil mewah, tetapi juga dinikmati oleh para penimbun dan penyelundup BBM untuk menangguk keuntungan dalam jumlah yang besar. Sementara, rakyat miskin yang tidak pernah mengkonsumsi BBM, karena tidak memiliki kendaraan bermotor, harus menanggung beban hidup akibat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sebelum penaikan BBM.
Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok tersebut sudah pasti memberikan kontribusi terhadap tekanan inflasi, yang akan menggerus penghasilan bagi penduduk berpenghasilan tetap sehingga menurunkan daya beli masyarakat. Dampaknya, kesejateraan rakyat semakin menurun dan proses pemiskinan rakyat semakin cepat sebelum penaikan harga BBM diputuskan. Padahal rakyat miskin belum mendapatkan BLSM, lantaran BLSM baru akan disalurkan pasca penaikan harga BBM.
Seolah sudah menjadi kelaziman di negeri ini, setelah terjadi hiruk-pikuk wacana penaikan harga BBM, pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, dan pengembangan BBA baru dan terbarukan, akhirnya pemerintah selalu memilih alternatif kebijakan yang paling gampang dengan memutuskan hanya penaikan harga BBM saja, sedangkan wacana pembatasan konsumsi BBM bersubsidi dan pengembangan BBA baru dan terbarukan dilupkan begitu saja. Kalau tahun berikutnya terjadi lagi kenaikan harga minyak dunia, pola kebijakan serupa terulang kembali.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, Pusat Studi Energi (PSE) UGM telah melaksanakan FGD dengan tema: “Mekanisme Penetapan Harga BBM secara RASIONAL dan BERKEADILAN, yang dapat diterima secara Ekonomi, Sosial dan Politik serta mendorong Pengembangan Energi Terbarukan”
Kegiatan Tersebut dilaksanaka pada Jumat 19 Juli 2013 di Ruang Sidang Pusat Studi Energi UGM. Dalam diskusi tersebut hadir tiga narasumber yang berkompeten natara lain :
1. Dr. Rimawan Pradipto, M.A, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM
2. Rofyanto Kurniawan Pusat Kebijakan APBN, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI
3. Saryono Hadiwidjoyo, Komite BP Migas Hilir, Kementerian ESDM RI
Beberapa sub-topik yang akan dibahas di antaranya:
1. Perlunya disusun mekanisme baku dalam penetapan besaran harga BBM berdasarkan indikator terkur, yang dapat meminimkan tekanan inflasi sebagai dampak kenaikan harga BBM bersubsidi
2. Perlunya ditetapkan momentum waktu penaikan harga BBM secara bertahap sehingga waktu penaikan tsb tidak bersamaan saat siklus inflasi yang biasanya sedang tinggi, misalnya tidak bersamaan dengan tahun ajaran baru, Ramadhan, dan Hari Raya Iedul Fitri.
3. Perlunya diputuskan bahwa pada saatnya besaran penaikan harga BBM harus sama dengan harga keekonomian atau harga final BBM berap persen di bawah di bawah harga keekonimian.
4. Kalau besaran harga harus sama dengan harga keenomian, apa saja dampak bagi bagi perekonomian Indonesia, APBN dan potensi asing dalam penguasaan sektor hilir
5. Kalau besaran harga ditetapkan di bawah harga keekonomian, apa dampaknya terhadap rencana migrasi dari BBM ke BBG dan pengembangan BBA baru dan terbarukan
Dalam diskusi tersebut dihadiri oleh beberapa elemen antara lain :
1. Pokja Panel Ahli Kedaulatan Energi UGM
2. Komite Kedaulatan Energi Mahasiswa UGM
3. Dosen-dosen UGM
4. Mahasiswa S1, S-2, dan S-3
5. Wartawan FORTA UGM
Pada Tanggal 1 Juli 2013 telah dilaksanakan Deklarasi Kedaulatan Energi untuk Kemakmuran Rakyat Indonesia yang dimotori oleh Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada. Kegiatan ini dihadiri oleh civitas akademika UGM, kementrian ESDM, Dewan Energi Nasional, PLN, dan praktisi bidang energi. Dalam kesempatan tersebut dilakakuan seklarasi dan pernyataan sikap PSE UGM yang disampaikan oleh kepala PSE UGM Dr. Deendarlianto terhadap permasalahan energi di negeri ini. Berikut Deklarasi dan Pernyataan Sikap PSE terhadap kondisi enerdi Nasional Indonesia.
Deklarasi Kedaulatan Energi untuk Kemakmuran Rakyat Indonesia
Setiap penetapan kebijakan Penaikan Harga BBM Subsidi selalu saja diwarnai dengan “kegaduhan” dan ketidakpastian. Padahal, kegaduhan dan ketidakpastian berkepanjangan justru mempeburuk ekonomi makro, yang berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi, menaikan inflasi, dan melemahkan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Ujung-ujungnya, memburuknya ekonomi makro tersebut menyebabkan penurunan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan angka kemiskinan rakyat Indonesia.
> Munculnya permasalahan tersebut menunjukan adanya berbagai masalah serius di bidang energi dan BBM yang dihadapi bangsa Indonesia. Permasalahan tersebut di antaranya
> Belum adanya mekanisme baku dalam penetapan besaran harga BBM dan penetapan besaran subsidi BBM, serta pengalihan subsidi untuk penanggulangan kemiskinan sehingga selalu menimbulkan kegaduhan dalam setiap penetapan harga BBM bersubsidi dan BLSM
> Melonjaknya besaran konsumsi (demand) BBM dan menurunnya volume produksi (supply) BBM serta peningkatan impor BBM yang melemahkan neraca perdagangan
> Tidak kunjung terlaksananya rencana Pemerintah untuk melakukan Migrasi dari BBM ke BBG, yang besaran subsidi BBG relatif lebih rendah dibanding subsidi BBM
> Tidak ada upaya serius dan terus menerus dari Pemerintah untuk mengembangkan BBA untuk dipergunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor maupun untuk Listrik.
Pengelolaan tambang Migas yang lebih dari 90% dikuasai Perusahaan Asing menyebabkan Kedaulatan Energi Indonesia semakin tergerus sehingga negara kehilangan kontrol dalam produksi Migas dan berpotensi melanggar amanah konstitusi UUD 1945.
Pusat Studi Energi UGM merasa terpanggil untuk ikut mengupayakan pencapaian “Kedaulatan Energi untuk Kemakmuran Rakyat”, sebagai upaya sungguh-sungguh dan berkelanjutan untuk mencapai kedaulatan energi secara mandiri sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945. Untuk itu, pada hari ini Senin 01 Juli 2013, Pusat Studi Energi mendeklarasikan Kedaulatan Energi untuk Kemakmuran Rakyat Indonesia. Upaya mencapai Kedaulatan Energi untuk Kemakmuran Rakyata akan ditempuh dengan berbagai kegiatan sebagai berikut:
>Diskusi dan Pekajian serta Diseminasi hasil kajian secara berkala melalui Diskusi Tengah Bulanan, Panel Ahli, Seminar Nasional dan Internasional.
>Melakukan inisiasi dan advokasi untuk upaya hilirisasi hasil-hasil penelitian Energi Baru dan Terbarukan sebagai Bahan Bakar Alterntif yang efisien
>Menginisiasi sinergi tiga Pilar: Perguruan Tinggi, Pemerintah, dan Industri untuk komersialisasi produk energi baru dan terbarukan berdasarkan hasil penelitian (R&D based products)
>Merajut jaringan kerjasama dengan berbagai pihak dalam mencapai Kedaulatan Energi untuk Kemakmuran Rakyat Indonesia
>Mendirikan dan menyelenggarakan Program Pendidikan Pasca Sarjana di bidang Energi Bersih dan Energi Baru dan Terbarukan
Pernyataan Sikap Pusat Studi Energi UGM terhadap Kebijakan Energi di Indonesia
Salah satu karakteristik kebijakan Pemerintah berkaitan dengan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia adalah responsif, parsial, dan jangka pendek. PSE UGM menyerukan kepada Pemerintah untuk merubah kebijakan energi yang lebih antisipatif, komprehensif dan jangka panjang.
Setiap kali penetapan harga BBM bersubsidi senantiasa terjadi “kegaduhan” dan ketidakpastian, yang beroptensi memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, memperburuk kondisi ekonomi makro serta mempercepat proses pemiskinan rakyat. PSE mendesak Pemerintah untuk menetapkan mekanisme pentapan harga BBM untuk diterApkan secara berkala berdasarkan indikator terukur.
PSE UGM juga mendesak kepada pemerintah untuk menetapkan Harga BBM RASIONAL dan BERKEADILAN, yang dapat diterima secara Ekonomi, Sosial dan Politik, serta dapat mendorong migrasi dari BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG) serta pengembangan Bahan Bakar Terbarukan (BBT).
Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam penggunaan BBM adalah adanya peningkatan konsumsi BBM yang boros dan Penurunan Produksi BBM sehingga memicu kenaikan impor yang menekan Neraca Perdangan. Untuk menurunkan pemborosan konsumsi BBM, PSE UGM mendesak Pemerintah untuk melakukan pengaturan dan pembatasan kendaraan bermotor sembari mengembangkan transportasi masal (mass transportation).
Data dan fakta menunjukan bahwa lebih dari 90% pengelolaan landang Migas dikuasai Perusahaan Asing, sedangkan BUMN dan BUMS hanya menguasai 10%. Komposisi tersebut, selain berpotensi untuk melanggar amanah konstitusi UUD 1945, juga menyulitkan bagi Pemerintah untuk melakukan kontrol terhadap besaran lifting, penetapan harga pokok produksi dan const of recovery, serta jumlah pajak yang harus disetor ke negara. PSE UGM mendesak pemerintah untuk melakukan renegoisasi pengelolan Migas yang lebih menguntungkan bagi bangsa Indonesia.
PSE UGM mendesak Pemerintah untuk melakukan PENGUATAN PERAN BUMN dan SWASTA NASIONAL dalam Pengelolaan Pertambangan di Indonesia untuk mengambil alih kontrak-kontrak pertambangan menjelang berakhirnya kontrak karya kontraktor asing dalam rangka mengemban “misi nasional” sesuai dengan amanah konstitusi Pasal 33 UUD 1945.
Data dan fakta menunjukan bahwa ketersediaan energi fosil semakin menurun, yang pada saat akan habis. PSE UGM mendesak Pemerintah untuk segera melakukan Migrasi dari BBM, yang subsidi content tinggi, dengan BBG, yang subsidi content lebih rendah. Dalam jangka menengah dan jangka panjang, Pemerintah harus mengembangkan energi baru dan terbarukan dengan mengakomodasi hasil-hasil Penelitian yang sudah dihasilkan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian.
(IEP-PSE)