Jakarta – Dalam sebuah forum diskusi Pemanfaatan Gas Suar: Peluang dan Tantangan di Indonesia (FGD) yang dilaksanakan di Merlynn Park Hotel pada tanggal 13 Juli 2023 serta dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan dari sektor migas dan industri pupuk di Indonesia, isu pemanfaatan gas suar menjadi sorotan utama. Gas suar, yang selama ini sering tidak dimanfaatkan secara maksimal, ternyata memiliki potensi besar, baik dari sisi ekonomi maupun lingkungan.
Prof. Sarjiya (Kepala PSE UGM ) menyoroti bahwa perkembangan transisi energi di Indonesia masih dirasa kurang cepat. Meskipun ada peningkatan dalam penggunaan New and Renewable Energy (NRE), target pengurangan emisi untuk tahun 2025 dan 2030 masih jauh dari harapan. Prof. Sarjiya menekankan bahwa pengurangan emisi tidak hanya dapat dicapai melalui pemanfaatan NRE, tetapi juga melalui strategi lain seperti efisiensi industri untuk meminimalkan produksi CO2. Selain itu, beliau juga mengungkapkan kekhawatiran perusahaan Indonesia terhadap tuntutan internasional yang belum diakomodasi oleh hukum Indonesia, seperti penerapan CBAM oleh Uni Eropa.
Ardyanto Fitrady, Ph.D., ahli ekonomi PSE UGM mengemukakan tiga manfaat ekonomi dari pemanfaatan gas suar. Pertama, dari perspektif makro, gas suar memerlukan investasi baru untuk diubah menjadi komoditi baru, seperti listrik. Investasi ini, dapat memberikan dampak ekonomi yang berbeda di lokasi yang berbeda, termasuk pada output, pendapatan masyarakat, dan peluang kerja. Selain itu, nilai investasi tergantung pada seberapa besar gas suar yang dimanfaatkan. Kedua, ada potensi besar dalam “carbon saving“, dengan estimasi penghematan emisi sebesar 10-19rb CO2. Valuasi manfaat dari penghematan karbon ini diperkirakan mencapai USD42,75 per ton CO2. Ketiga, bagi perusahaan, pemanfaatan gas suar dapat menghasilkan penghematan biaya pembangkit kilang antara 15-39%. Selain itu, ada potensi pengurangan pajak karbon jika emisi yang dihasilkan berkurang.
Dr. Irine Handika sebagai ahli hukum PSE UGM menyoroti pentingnya keberadaan dasar hukum yang jelas dan kuat di Indonesia. Menurut Dr. Irine Handika, meskipun saat ini belum ada peraturan khusus yang mengatur pemanfaatan gas suar, terdapat beberapa ketentuan yang dapat dijadikan acuan. Namun, beliau menekankan bahwa peraturan yang ada saat ini, khususnya yang berkaitan dengan teknis administratif, belum cukup memberikan kepastian bagi investor dan perusahaan. Oleh karena itu, diperlukan peraturan yang lebih tinggi untuk memastikan kepastian terkait kewajiban dan investasi dalam pemanfaatan gas suar.
Pertamina EP, melalui Bapak Petrus, menguraikan bahwa gas suar memiliki komposisi dan spesifikasi yang berbeda. Terdapat perbedaan signifikan antara gas suar dari kegiatan hulu dan hilir, terutama dari sisi nilai ekonomi dan bentuknya. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana mengkonversi gas suar, yang seringkali dianggap sebagai limbah, menjadi sumber daya ekonomi. Sebagian besar gas suar yang dihasilkan merupakan gas associated atau gas ikutan dari produksi minyak, yang memiliki kandungan CO2 yang tinggi. Hal ini menyulitkan gas tersebut untuk dimasukkan ke dalam sistem pipa tanpa perlakuan khusus. Selain itu, Pertamina EP juga menyoroti kebutuhan akan infrastruktur pendukung dan solusi bagi gas dengan impurities tinggi. Meskipun demikian, Pertamina EP percaya bahwa dengan insentif yang tepat, pemanfaatan gas suar dapat menjadi lebih menarik.
Pertamina Hulu Rokan (PHR) memaparkan tantangan dan strategi mereka dalam mengelola gas suar. Menurut perwakilan dari PHR, kondisi di Rokan mirip dengan yang dihadapi oleh Pertamina EP, di mana gas suar yang ada tersebar dan volumenya relatif kecil. Namun, dengan adanya infrastruktur yang terintegrasi dengan baik, PHR mampu memanfaatkan sebagian besar gas suar sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik. PHR juga mengungkapkan bahwa mereka telah memanfaatkan teknologi AGRP (Associated Gas Recovery Plant) untuk meningkatkan kualitas gas suar, mengurangi emisi, dan memaksimalkan pemanfaatan gas tersebut. Selain itu, PHR juga membeli gas dari pihak ketiga dengan kualitas yang lebih baik untuk diblend dengan gas suar, memastikan efisiensi dan kualitas yang optimal dalam proses produksi.
Pupuk Indonesia oleh Pak William memaparkan strategi dan pendekatannya dalam memanfaatkan gas suar. Sebagai salah satu industri terbesar yang memproduksi amonia, Pupuk Indonesia memanfaatkan gas sebagai bahan baku utama. Menariknya, bahwa saat ini tidak ada waste gas yang dibuang dari proses produksi amonia, karena seluruhnya digunakan sebagai bahan pemanas. Selain itu, Pupuk Indonesia juga menyoroti potensi Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) dalam produksi urea. Terakhir, Pupuk Indonesia juga mengungkapkan rencananya untuk mengarah ke produksi green ammonia, meskipun saat ini masih dalam tahap penelitian mengenai keekonomian proses tersebut.
PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT), sebagai perusahaan yang bergerak di sektor industri pupuk, menekankan bahwa sudah memanfaatkan gas suar sepenuhnya dalam proses produksi. Menurut perwakilan dari PKT, proses yang mereka jalankan mirip dengan Pupuk Indonesia. Selain itu, PKT menekankan bahwa produksi amonia mereka dilakukan dengan memanfaatkan hidrogen. Pendekatan efisiensi ini menunjukkan komitmen PKT dalam mengoptimalkan sumber daya dan berkontribusi pada upaya pengurangan emisi.
Pertamina Power mengungkapkan pendekatan dan tantangan mereka dalam memanfaatkan gas suar untuk sektor ketenagalistrikan. Menurut perwakilan dari Pertamina Power, mereka memiliki turbin yang mampu memanfaatkan berbagai jenis gas suar. Namun, salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana mengakomodasi intermitensi atau ketidakstabilan dalam pemanfaatan gas suar untuk pembangkit listrik menjadi kendala utama, terutama karena syarat PJBL (Perjanjian Jual Beli Listrik) yang ketat. Hal ini menegaskan bahwa meskipun ada potensi besar dalam pemanfaatan gas suar untuk energi, masih ada rintangan regulasi.
Dari diskusi ini, jelas bahwa pemanfaatan gas suar memiliki potensi besar di Indonesia. Namun, ada beberapa tantangan yang perlu diatasi, termasuk aspek regulasi, infrastruktur, dan keekonomian. Dengan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan pemangku kepentingan lainnya, Indonesia dapat memaksimalkan potensi gas suar untuk mendukung transisi energi yang berkelanjutan.